Diskusi Kesadaran Jalanan Bersama Erik Prasetya

Pada tanggal 31 Oktober 2020, dua mentor Arkademy, Rara Sekar dan Ben Laksana berkesempatan untuk menjadi penanggap diskusi Kesadaran Jalanan bersama fotografer senior, Erik Prasetya yang bertempat di TUK. Diskusi Kesadaran Jalanan adalah salah satu acara dari rangkaian program Photo Demos, yang diinisiasi oleh PannaFoto Institute dan Kurawal Foundation. Kami merasa diskusi ini adalah salah satu diskusi penting yang membahas proses serta alasan berkarya seorang fotografer dokumenter, media sosial dan konsekuensinya pada fotografi, keberpihakan dalam karya,  hingga keterkaitan fotografi dengan demokrasi. Sebagai arsip, berikut adalah transkrip diskusi Kesadaran Jalanan yang sudah kami sunting. Diskusi lengkapnya bisa didengarkan di tautan ini

Rara Sekar
Tadi kita baru saja menyaksikan bersama-sama video tentang “Kesadaran Jalanan”. Sebelumnya mau ngasih selamat buat yang bikin video, mas Erik juga, dan teman-teman yang terlibat. Bagus sekali video-nya. Salah satu video pendek tentang fotografi yang sangat menyentuh. 

Ben Laksana
Dan memanusiakan mas Erik juga ya.

Rara Sekar
Jadi nggak cuma lihat fotografer sebagai suatu profesi tapi juga melihat fotografer sebagai manusia ya. Mendemistifikasi fotografer yang pekerjaannya sangat romantik. Untuk memulai diskusi ini, belakangan ini kita mulai melihat ada gelombang aksi lagi. Sebenarnya sejak tahun lalu, dari gerakan September 2019 hingga sekarang untuk menolak Omnibus Law, mendukung RUU PKS, dan lain-lain.

Mas Erik merhatiin nggak, misalnya foto-foto atau visual-visual yang mengemuka dari aksi-aksi ini dan apakah ada perbedaan dari zaman mas Erik dulu memotret Reformasi? Sempet merhatiin nggak misalnya belakangan ada foto-foto yang viral. Misalnya seorang aktivis perempuan dari Sulawesi yang mengepalkan tangan sambil berorasi dan memegang rokok di tangan kirinya. Itu cukup viral. Lalu juga ada foto salah satu anak yang dibalut bendera merah-putih di aksi sebelumnya. Lalu ada yang menahan polisi di depan tamengnya.

Ini kan beberapa foto yang belakangan berseliweran di lini masa kita. Mas Erik sendiri melihat foto-foto itu gimana dibandingin sama foto-foto yang dulu mas Erik lihat pas zaman Reformasi?

Ben Laksana
Atau bahkan (foto-foto) yang mas Erik ambil sendiri.

Erik Prasetya
Ada perubahan yang cukup besar dalam fotografi di era digital sekarang dibandingkan zaman dulu. Cara kita membuat foto dan cara melihatnya juga sekarang berbeda. Jadi kalau saya melihat foto-foto seperti aktivis yang mengepalkan tangan segala, latar belakangnya juga bisa sesuai dengan keinginan memuatnya. Ditambah api atau sinar matahari kayak gitu-gitu, memang kita melihatnya dengan beda. Jadi kita tidak menganggap ini sebuah kebenaran.

Foto ini dipakai untuk menyampaikan ide sesuatu. Simbol. Mungkin dimitoskan atau mungkin yang memasang foto itu berpikir begitulah seorang aktivis ideal di dalam kepalanya. Ada rokoknya di tangan, tangannya mengepal atau sambil pegang toa, latar belakangnya “ini”. Jadi barangkali itu cuma seseorang yang orasi biasa dan tidak terlalu penting tapi diangkat media massa, menjadi penting, dan ini menjadi simbol perlawanan. 

Jadi sekarang kita jangan percaya-percaya amat sama foto. Memang sifatnya udah lain. Zaman dulu kalau foto saya ada di Puncak Everest, orang akan bertanya ini kapan? Gila juga lo! Otomatis orang bertanya itu, nggak ada yang nanya ini Photoshop atau apa? Jadi kepercayaan publik terhadap foto juga bergeser. 

Ben Laksana
Walaupun sebenarnya dari dulu foto bisa dimanipulasi juga ya?

Erik Prasetya
Betul, cuman tidak lazim kan? 

Ben Laksana
Sebenarnya jadi menarik sih. Tadi kan Rara sudah bertanya mengenai perbedaan foto-foto itu sendiri, antara yang dulu sama yang pergerakan sekarang. Di video “Kesadaran Jalanan” tadi mas Erik juga sudah menyebutkan banyak juga fokus terhadap konteks-konteks keseharian. Itu yang kita suka juga, bahwa asal-usul pergerakannya itu sendiri juga mas Erik telusuri. 

Apakah ketika mereka lagi ngobrol bareng, kongkow bareng, makan bareng, bikin bom molotov bareng, atau hal-hal lain. Apakah zaman sekarang kita semakin terfokuskan terhadap hal-hal momentum yang besar-besar saja ketika lagi bakar sesuatu atau lagi orasi….

Rara Sekar
Puncak peristiwa ya.

Ben Laksana
Puncak peristiwa. Akhirnya luput bahwa semua hal itu terjadi karena ada hal-hal kecil –keseharian itu yang datang sebelumnya. 

Erik Prasetya
Seperti tadi sudah kita bahas di awal pertama kali, sebenarnya proyek utama saya itu bercerita tentang Jakarta. Waktu itu yang saya pilih kan Thamrin–Sudirman. Hal yang saya foto itu sesuatu yang biasa, yang menceritakan emosi sebuah kota. Dari mana emosi itu didapat? Dari ekspresi orang-orangnya, dari jarak antar penduduknya, kecepatan jalannya, segala macam itu. Itu yang saya rekam untuk menceritakan emosi. 

Tiba-tiba ada Reformasi, sesuatu yang memang saya tunggu. Saya sebagai mahasiswa dulu, agak aktif di dewan, dan cita-cita saya adalah Soeharto itu tumbang. Dan itu terjadi. Maka saya menggarap sesuatu yang terjadi di Thamrin–Sudirman ini dengan disiplin maupun estetika yang sedang saya cari untuk bercerita tentang jalanan ini. Makanya pendekatan saya bercerita.

Saya tidak menangkap hanya momen puncak tetapi bagaimana momen ini terjadi. Kenapa? Rapat-rapat menjadi penting buat saya. Waktu itu saya bersama filmmaker Tino Saroengallo. Dia membuat satu-satunya dokumenter tentang Reformasi, Student Movement in Indonesia. Kalau tidak salah film itu menang di Busan, lalu dikembalikan ke Jakarta itu laku sekali. 

Saya bersama Tino mendekati tokoh-tokoh dari Forkot. Kami membuat (karya) mulai dari rapat-rapatnya mulai dari molotov dibikin, siapa yang menyumbang, kayak gitu-gitu. Buat kami, cerita itu jauh lebih menarik. Oke, molotov meledak itu sesuatu. Tapi cerita bagaimana ini semua terjadi, buat saya lebih mengekspresikan cerita-cerita saya. 

Ben Laksana
Ini jadi menarik banget ya.

Soalnya ini menunjukkan bahwa mas Erik tuh sebenarnya seperti lagi menggunakan fotografi sebagai medium. Tapi sebelum itu, Mas Erik sudah tertarik tentang hidup.  Berarti kalau kita nyambung lagi ke “Kesadaran Jalanan”, sebelum jadi fotografer, mas Erik adalah seorang manusia yang penuh dengan ketertarikan apa yang terjadi di sekitar Mas Erik. Kebetulan aja tiba-tiba terjadi Reformasi ini yang akhirnya mas Erik juga jadi bagian dari perubahan sosial ini. Saya jadi berpikir… Apakah fotografi punya peran dalam perubahan sosial itu sendiri? Atau sebenarnya kita sebagai fotografer yang lebih berperan? Apakah si foto itu sendiri sebagai objek punya peran untuk mendorong perubahan?

Erik Prasetya
Wah itu berat karena orang jurnalistik pasti mengklaim bahwa fotonya mengubah (keadaan). Perang Vietnam berhenti karena apa? Tapi kan segala sesuatu tidak terjadi sendiri. Dia bersama-sama. Mungkin karena fotografi ada di ujung tombak maka ia nampak sebagai sesuatu yang mengubah. Padahal kan bersama-sama.

Tapi sebagai jurnalis juga menurut saya, kita kan harus berpihak juga. Posisi kita berdiri saja sudah menunjukkan kita berada di pihak mana. Kalau ada di pihak musuh ya itulah…. Jadi sebenarnya tidak ada yang terlalu netral, tidak ada yang terlalu seimbang. Cuma mungkin orang tidak mau mengakui bahwa mereka itu ada subjektivitasnya. Padahal itu selalu ada.

Rara Sekar
Menurut Mas Erik, seberapa penting sih seorang fotografer itu punya keberpihakan di dalam karya-karyanya? Dan gimana sih caranya kita mengetahui keberpihakan kita itu di mana? Karena belakangan kita suka mengadakan workshop juga sama teman-teman Arkademy dan teman-teman PannaFoto juga. Seringkali banyak fotografer atau seniman atau pembuat karya apapun sulit sekali menentukan posisinya di mana. Atau merasa tidak perlu keberpihakan karena ini proyek estetis.

Erik Prasetya
Kalau saya merasa perlu sekali keberpihakan karena kita kan mengeksplorasi sesuatu tidak langsung tahu temanya apa. Tema kita cari ketika semuanya berjalan. Nah, bagaimana kita akan tahu hubungan satu foto dengan lainnya kalau tidak ada suatu dorongan pada diri kita yang menunjukkan keberpihakan? Kalau kita plin plan sana-sini sana-sini ya nggak akan ketemu-ketemu temanya.

Sebagai contoh, waktu saya menggarap Women on Street, saya mendapati foto-foto saya banyak sekali tentang perempuan. Oke, kalau gitu perempuan sedang menarik perhatian saya. Maka benang merah tema kali ini perempuan. Fokusnya persoalan gender, persoalan kerja, dan lain-lain. Jadi keberpihakan itu dibangun. Penting. Kalau saya cowok yang maskulin chauvinis, nanti beda hasilnya. 

Ben Laksana
Apakah di zamannya Mas Erik mengalami hal yang serupa atau ada perubahan di mana kita sekarang lebih fokus pada estetika semata?

Erik Prasetya
Mungkin zaman dulu juga begitu ya… Cuma saya kan memulainya agak beda. Saya mulai dari keinginan untuk bercerita tentang sesuatu maka saya harus jelas posisi berdirinya di mana, lalu mulai mencari apa yang ingin diceritakan. Perhatian saya ke mana-mana. Bagaimana saya dapat data? Mau menceritakan apa? Apa yang penting menurut saya?

Fotografer yang hanya mengambil foto-foto puncak tentu saja tidak salah, tapi ia tidak bisa bercerita. Fotonya tidak cukup. Jadi ini sebuah disiplin yang lain lagi. Apalagi sekarang di zaman digital ini, menurut saya foto itu sangat banyak dihasilkan. Saya denger-denger sekitar 10.000 per hari kira-kira.

Ben Laksana & Rara Sekar
Kayaknya udah jutaan, deh mas! Hahaha.

Rara Sekar
Mungkin 10.000 foto di bilangan Utan Kayu aja. Hahaha.

Erik Prasetya
Saya mungkin kuno baca data lima tahun yang lalu, hehe… Tapi kan lihat coba, apakah umpamanya foto yang dihasilkan oleh handphone, CCTV, drone, satelit –itu semua foto. Tentu saja data lebih banyak. Tapi sekarang pertanyaannya, apakah fotografi jadi lebih bagus?

Kalau menurut saya, sebenarnya cara mengambil foto itu dipermudah dengan digital. Tapi yang mengisi ruh pada sebuah foto kan fotografer. Kalau kamu nggak punya apa-apa untuk mengisikan sesuatu ya. Nggak tahu warna, nggak tahu estetika, nggak tahu segala macam, ya kan kamu hanya merekam sesuatu yang nggak terlalu bermakna. Makna itu bisa digiring oleh fotografer ke arah sini. Jadi mungkin di situ jebakannya.

Rara Sekar
(Jebakan) di era digital ini ya. Setuju sih mas, tentang bagaimana kita menaruh diri kita atau cerita kita di dalam fotografi. Tapi hari-hari ini susah sekali untuk menjadi otentik ya, mas… Karena kita setiap harinya terpapar oleh begitu banyak informasi dan referensi yang tak terbatas. Satu klik aja udah bisa ngeliat dari yang levelnya fotografi vernakular, sampai ke Magnum, sampai ke VU, itu hanya satu klik saja perbedaannya.

Bagaimana caranya fotografer untuk menjadi otentik? Atau apakah masih relevan menjadi otentik?

Erik Prasetya
Generasi sekarang itu tentu saja mereka melihat lebih banyak. Kelemahannya, mereka tidak lagi mencari seperti generasi saya. Kalau generasi saya itu kan contoh tidak begitu banyak sehingga kita mencari-cari “mungkin ini, mungkin itu”, lalu kita berproses. Eh, si itu bikin gini lho, tapi kenapa ya? 

Kalau sekarang tuh kita tidak punya lagi ruang untuk mempertanyakan sesuatu dan kita menerimanya sebagai “oh iya, ini keren. Ini keren, ini keren.” Akhirnya tuh semua jadi template nanti. Kita tidak lagi melihat karya-karya itu sebagai perlawanan dari karya semacam apa. Kenapa dibikin begini?  

Fashion contohnya. Kenapa kok fashion zaman sekarang tiba-tiba bayang-bayang yang tadinya dihindari, tampak keras, dan itu nggak apa-apa. Yang penting cling. Ini perlawanan dari apa? Di sana, di tempat terjadinya, semua ada prosesnya. Proses itu yang luput diamati oleh kita yang nge-klik lewat ini… 

Saya rasa yang diperlukan oleh generasi muda sekarang di dunia fotografi itu semacam apps untuk menjadi kompas kira-kira di belantara fotografi ini sampai di mana? Saya sampai di mana? Di belantara yang banyak sekali, kita tidak punya petanya. Nah, peta ini yang menurut saya harus diberikan oleh fotografer yang punya pengalaman. Yang lebih tua, yang dulu tahu segala macam.

Kalau mau menurunkan sesuatu ke generasi muda, kasihlah itu peta. Jadi di sinilah kenapa bikin buku segala macam itu jadi penting karena ini buat generasi muda untuk melihat, oh, di Indonesia itu petanya begini. 

Rara Sekar
Genealogi gitu ya? Semacam genealogi fotografi Indonesia. Sebenarnya sudah ada beberapa yang menulis, tapi sedikit sekali. Dan sebenarnya kalau boleh mengkritik, tulisan tentang fotografi juga nggak terlalu banyak ketimbang tulisan tentang disiplin ilmu lainnya di dalam kesenian.

Ben Laksana
Dan juga mungkin ditambah mengkritik sedikit tentang pendidikan fotografi itu sendiri. Ya, hal-hal teknis itu perlu. Hal-hal mengenai estetika fotografi itu perlu, tapi juga tentang sudah sampai sejauh apa fotografi Indonesia saat ini. Misalnya tentang fashion, documentary, jurnalistik, segala macam. Kayaknya perlu dipahami juga kamu sudah sampai tahapan mana? Apa yang ingin kamu coba kritik atau bahkan kamu coba replikasi, dan sebagainya. 

Rara Sekar
Tapi seringkali kita tidak sadar kita sedang mengulangi apa yang sudah dilakukan sebenarnya….

Erik Prasetya
Dan akhirnya merasa apa yang kita lakukan itu baru. 

Ben Laksana
Padahal 20-30 tahun lalu orang sudah melakukannya.

Rara Sekar
Tapi ya pengarsipan fotografi juga mungkin sulit diakses karena sering dimiliki hanya oleh fotografernya atau keluarganya. 

Erik Prasetya
Tapi sekarang dengan adanya media sosial pun itu di mana-mana.

Ben Laksana
Tapi media sosial juga jadi permasalahan sendiri, mas.  Soalnya banyak sekali visual di media sosial yang kita lihat adalah replikasi dari apa yang dianggap sebagai jenis estetika yang bermakna. Kayak dari visualnya, angle-nya harus kayak gimana. Kemudian juga subjek fotonya dan warnanya sekalipun. Jadi kayak….

Rara Sekar
Bahkan tema-temanya ya…

Ben Laksana
Iya, bahkan tema-tema yang diangkatnya. 

Diskusi Kesadaran Jalanan. Foto: Photo Demos

Sesi Tanya Jawab

Fahrizal
Halo, Mas Erik. Sejauh mana seorang wartawan foto dapat menetapkan keberpihakan tanpa mengacuhkan kaidah jurnalisme (cover both sides)?

Ben Laksana
Ini pertanyaan penting. Apakah foto itu objektif dan netral. 

Rara Sekar
Bahkan dalam kaidah jurnalistik pun, sebagai karya jurnalistik apakah benar-benar cover both sides secara objektif?

Ben Laksana
Dan perlu nggak cover both sides?

Erik Prasetya
Ya… kalau sempat. Kalau enggak gimana? Kalau perang jelas kita berpihak pada di sini. Cover both sides sana? Wah, bisa-bisa mati kita. 

Ben Laksana
Dan itu juga jadi menarik sih. Misalnya kita melihat bahwa pihak lain fasis. Oh, sori, saya harus melihat dari kacamata fasisme dulu baru kita bisa menyimpulkan apakah dia fasis atau tidak. Penindasan atau bukan.

Erik Prasetya
Bagaimana kita bisa bicara bebas nilai setelah kita melawan fasis itu? Umpamanya kita nggak suka pada fasis. Sekarang kita coba berdiri di sisi fasis, nggak mungkin kan? 

Rara Sekar
Mungkin tergantung isunya nggak sih, mas?

Erik Prasetya
Mungkin tidak bisa untuk semua peristiwa begitu tapi dalam wawancara tertentu mungkin bisa kita tanya. Kebetulan orang ini bertentangan pendapatnya, terus kita coba (berdiri) di tengah. Itu masih bisa. Tapi kan untuk 100% bebas dari nilai-nilai yang kita percaya itu sulit sekali.

Rara Sekar
Biasanya sih nanti tantangannya di editor sih, hehe. Bukan di kitanya. Cuma keberpihakan kita akan dibatasi oleh editor.

Danishwara Nathaniel
Kalau tadi menonton videonya mas Erik, saya melihat kepiawaian mas Erik dengan analog fotografi. Dari mulai proses potret, sampai cetak, sampai story dan lain-lain. Semuanya tampaknya dikerjakan sendiri. Saya mau tanya tentang keterkaitan medium analog, termasuk photo books sebagai media perantara foto dengan poin mas Erik tadi tentang kemanusiaan dan mengedepankan kemanusiaan sebelum profesi fotografinya. 

Apakah pemilihan analog sebagai cara atau proses ada kaitannya dengan memanusiakan proses potret itu sendiri? Belajar proses atau slow approach. Apa mungkin materiality dari medium analog bisa diklaim lebih otentik?

Rara Sekar
Tadi kita sempat bahas tentang perbedaan menangkap peristiwa hari ini dengan perangkat digital dan dulu, bahkan sampai sekarang, Mas Erik masih pakai film. Bagaimana materiality atau aspek materialnya? Apakah lebih otentik dan lebih lambat prosesnya?

Erik Prasetya
Gini, saya itu kan belajar foto pada era analog. Saya mencuci dan mencetak foto-foto saya sejak saya berusia 10 tahun, demi kepraktisan. Ketika saya bikin proyek pribadi, biar murah dan terkontrol saya pakai hitam-putih. Semua saya cetak sendiri, cuci sendiri, segala macam. Tapi memang proses yang panjang ini membuat ada ikatan tertentu antara medium foto itu dengan saya.

Umpamanya, wajah-wajah yang saya foto itu akan menempel di kepala saya karena saya berkali-kali melihat wajah itu. Pertama waktu memotretnya. Kedua, waktu mencucinya. Saya harus ngecek lagi clear atau enggak, fokus atau enggak. Kemudian di kamar gelap, saya masih harus lihat fokusnya lagi. Kemudian nanti jadi foto, baru saya lihat lagi. Jadi prosesnya panjang sekali.

Di sini kita ngomong unsur waktu. Waktu itu kadang-kadang memang punya pengaruh yang ajaib kepada manusia. Agak susah menerangkannya tapi kalau Anda melakukannya, Anda akan merasakan dia memberi hubungan. Jadi waktu itu tidak bisa dimampatkan. 

Nah, digital memanfaatkan waktu. Efeknya –ini saya sebagai pelaku karena paling merasakan –hampir semua foto digital saya, saya lupa. Yang saya ingat cuma yang saya muat di buku. Waktu saya cari di komputer, “ah di mana dia? Itu dia, ini kita pakai.” Fokusnya itu. Yang lainnya semua menguap. Tidak ada dalam memori saya. Lain kali ketika saya rileks, saya ngecek lagi kok ada ini ya?

Jadi terasa banget bedanya. 

Pada waktu menggarap Women on Street sekitar tujuh tahun, saya pakai digital. Sebelumnya pakai negatif. Sekarang saya kembali lagi analog karena saya tidak mau kehilangan sensasi itu. Hubungan saya dengan foto-foto yang saya bikin dan konteksnya. Itu terlalu berharga untuk hilang begitu saja. Digital punya kelebihan dalam hal waktu: cepat. Tapi kalau saya punya waktu panjang ngapain pula saya terburu-buru? 

Rara Sekar
Apalagi tadi dari Mas Erik kita dengar setiap kali mengerjakan proyek itu lama sekali, bahkan ada yang sampai sekarang masih dikerjakan. Jadi bisa dikatakan dari tahun 1970an sampai sekarang, bahkan ada yang tujuh tahun yang Women on Street, banyak sekali. Dan mungkin sekarang di era yang serba instan. 

Tadi sebelumnya kita sempat ngobrol tentang kalau digital, kita foto langsung upload ke HP, langsung dapat likes, selesai. Usia foto itu bahkan berhenti di situ, kecuali dia mendadak viral karena sesuatu.

Ben Laksana
Jadi menarik ya. Melihat bagaimana instannya dalam dunia fotografi ini mendehumanisasi subjek-subjek yang ada di dalam foto itu karena kita tidak memiliki kemelekatan. Karena sebenarnya ada proses yang membangun relasi. 

Erik Prasetya
Hampir bisa dibilang begitu. 

Ben Laksana
Dan akhirnya juga mendehumanisasi diri kita sendiri sebagai fotografer. Kita jadi ada jarak dengan si subjek-subjek yang kita foto ini. Mas Erik kan tadi bilang lupa sama orangnya….

Erik Prasetya
Betul, saya lupa.

Rara Sekar
Betul sih mas, jadi digital dust ya, debu-debu digital. 

Erik Prasetya
Dan memang benda itu nggak ada, nggak saya pegang. Itu kan beda. Selembar foto yang saya cetak itu kan saya pegang. Barangnya ada. Digital itu tidak ada, makanya gampang lupa.

Gusti Dyah
Mas, mau nanya soal identitas subjek di foto kita. Saya suka takut share pra-aksi dan aksi. Nanti mereka dikejar intel.  Itu gimana ya, mas?

Rara Sekar
Ya benar, ini persoalan etika dalam fotografi. Sekarang aksi lagi naik, kan? Di mana kalau motret tuh harus kita kaburkan identitasnya. Gimana, mas? Kan dulu sama sekarang agak berbeda.

Ben Laksana
Soalnya intel dari zaman ke zaman selalu ada ya? Hahaha.

Rara Sekar
Udah nggak jaket kulit. Sekarang pakai kaus band indie, hahaha.

Erik Prasetya
Sekarang caranya dikaburin gitu ya, zaman sekarang kan mudah. Kalau dulu sulit sekali. Dulu tuh kenapa ya kita muat aja? Apa karena Soeharto sudah mau jatuh? Atau karena apa?

Ben Laksana
Mungkin karena ada rasa percaya diri.

Erik Prasetya
Iya. Dan ada keinginan biar dunia tahu. 

Rara Sekar
Urgensi pada saat itu ya, mas?

Erik Prasetya
Iya, biar dunia tahu bahwa rezim ini melakukan ini.

Rara Sekar
Mas Erik pernah ada urusan etika nggak? Misalnya foto mas Erik tersebar di media lalu ada yang bilang, “Saya tidak suka. Tolong ditarik.”

Erik Prasetya
Hampir tidak ada. Tapi kan sebenarnya persoalan itu mengemuka kalau ada unsur uang dibaliknya. Jadi kalau mereka merasa, “Aduh, enak aja lu dapet duit. Gue nggak dapat apa-apa.” Makanya dalam proses buku Women on Street, saya tidak mau pakai sponsor. Untuk menghindari itu, satu. Saya mau menunjukkan bahwa di sini nggak ada duit ya… Kedua, kalaupun ada duit itu duit saya sendiri.

Tapi sejauh ini enggak. Saya tuh di jalan kalau umpamanya ada orang yang nampak tidak senang saya foto, biasanya saya datangi lalu saya terangkan. Saya sedang mengerjakan ini, ini, ini. “Kalau umpamanya bapak ada keberatan foto itu dimuat, hubungi saya lewat kartu ini.” 

Saya kasih email saya, Facebook dan segala macam. Kalau dia nggak ada komplen apapun, saya anggap ini kayak model release. Waktu saya ditanya Gramedia, mau menerbitkan postcard-postcard nanti ada yang menuntut nggak? Sejauh ini tidak. Ya kita coba aja. 

Rara Sekar
Tapi memang diberitahu ya kalau misalnya dia ada gestur-gestur yang tidak senang?

Erik Prasetya
Iya, membaca gestur. Itu keahlian saya karena puluhan tahun saya melakukannya. Jadi saya tahu kalau dia kelihatannya nggak suka.

Rara Sekar
Tapi aku rasa itu penting. Karena tadi, mediumnya kan digital. Serba cepat, bahkan kita nggak ada waktu buat sensitif sama keadaan. Yang kita pikirin mungkin gimana foto ini bakal dapat banyak likes mungkin. Atau ini mungkin bakal mengubah dunia. Dan kita langsung punya akses untuk menyiarkannya ke dunia. 

Aku rasa penting sih untuk melihat orang atau keadaannya, apakah memang etis atau tidak. Itu butuh latihan seperti Mas Erik. Tidak langsung tiba-tiba bisa.

Erik Prasetya
Karena saya kan memotret sesuatu yang biasa-biasa aja. Nggak ada urgensinya sebenarnya. Jadi saya harus selalu memakai perasaan saya: orang ini kira-kira welcome nggak? Kalau enggak ya berarti saya harus meyakinkan dia bahwa ini demi sesuatu. Ini saya akan pamerkan dan sebagainya. Kalau memungkinkan. Kalau keberatan ya silakan hubungi saya di sini.

Ben Laksana
Tapi ini poin penting banget. Jadi yang dibangun mas Erik selama ini bukan sekadar perihal teknis ya. Kecekatan mengambil angle foto atau decisive moment ala Henri Cartier-Bresson. Tapi juga sensitivitas kita terhadap manusia lain. Dan sebagai fotografer seringkali kita tidak melihat manusia sebagai subjek tapi sebagai objek. Kita seringkali mematikan mereka.

Apa yang telah dilakukan mas Erik justru membangun kembali relasi itu. Manusia-manusia ini butuh dihargai, butuh penghargaan saya. Saya akan memberikan mereka platform tersebut ketimbang hanya sekadar diambil buat….

Erik Prasetya
Kepentingan kita. Iya. Makanya saya nggak suka gayanya Bruce Gilden. Dihajar pake flash, orang yang tampangnya jelek segala macam. Saya tulis di buku saya. 

Rara Sekar
Aku juga nggak terlalu suka sih….

Erik Prasetya
Tapi sekarang lagi banyak ditiru di sini. Bruce Gilden itu lagi model di Indonesia. Banyak.

Ben Laksana
Sekali lagi, itu mas. Kita hanya fokus ke estetika hanya untuk sekadar likes ketimbang membangun relasi-relasi itu.

Erik Prasetya

Itu dia. Makanya saya selalu menganjurkan kepada fotografer muda untuk kamu bercerita sesuatu. Jangan hanya mengambil foto tapi berceritalah sesuatu yang kamu ambil itu. Apa yang bisa kamu ceritakan? Kalau nggak ada, jangan-jangan kamu kurang perhatian. Kamu nggak merhatiin apa-apa. Kamu sibuk sama dirimu sendiri, mencari gaya ini dan itu. Semua untuk dirimu. Buktinya kamu tidak bisa cerita apa-apa. Hindari yang kayak gini.

Ian Hananto
Di buku Pak Erik terbaru Eros dan Reformasi, ada beberapa tokoh yang dahulu sangat getol menyuarakan demokrasi dan sangat vokal menentang rezim saat itu. Namun bisa dibilang tokoh-tokoh tersebut berubah 180 derajat. Kalau mengutip The Dark Knight, tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan “you either die a hero, or you live long enough to see yourself become the villain.”

Bagaimana kesan Pak Erik melihat tokoh-tokoh tersebut saat ini? 

Erik Prasetya
Ya persis seperti yang dikutip itu, hahaha. Saya melihat tokoh-tokoh ini menjadi ya… Sayangnya tidak mati, memang. Hahaha! Atau hidup panjang tapi sebagai villain.

Ben Laksana
Iya, tapi itu ketakutan banyak aktivis lho, mas. Gimana kita ketemu aktivis yang progresif dan kita men-support aktivis itu, ternyata pas dia udah sampai di suatu posisi kekuasaan, dia berubah total. Jujur kita nggak tahu sih jawabannya harus seperti apa, tapi itu sangat menyeramkan.

Erik Prasetya
Tapi kan kita harusnya melihat perjuangannya dia. Jangan berpikir bahwa manusia tidak berubah. Dia berubah. Tapi waktu dia memperjuangkan itu benar kan? Sama dengan kita, cocok. Ya! Jadi yang dia lakukan itu benar pada waktu itu. Habis itu jadi pengkhianat ya sudahlah, memang itu kelasnya.

Ben Laksana
Tapi menarik banget. Apakah fotografi punya peran untuk mengkristalkan heroisme seseorang ini atau tidak. 

Rara Sekar
Imaji tentang seseorang ya. Apalagi fotonya yang lagi demo, karena fotonya cukup viral tuh beberapa bulan belakangan.

Ben Laksana
Pake bendera merah-putih diiket ke kepala. Foto punya peran banget kan untuk mengkristalkan. 

Rara Sekar
Dan bisa didemistifikasi lagi.

Erik Prasetya
Iya, bener. Bisa didemistifikasi lagi. Tapi memitoskan orang itu gampang sekali, karena sudah tahu pose-pose yang menjadi ikon. Foto Che segala macam. 

Rara Sekar
Soekarno. Dia sangat didukung oleh fotografi sih. Pengkultusan dia sebagai sosok. 

Erik Prasetya
Bahasanya memang begitu, sampai sekarang juga.

Idel
Halo, Pak Erik. Saya mau tanya. Ketika motret, misalnya dalam suatu aksi atau peristiwa momentum gitu, Pak Erik lebih banyak motretnya atau observasi di TKP-nya? Bagaimana sih agar foto yang diambil itu benar-benar bisa mengena di mata dan hati yang melihat?

Erik Prasetya
Ya observasi sih… Saya tidak pernah berpikir bagaimana supaya mengena di hati orang. Enggak. Jadi waktu foto ya foto aja seperti mekanis. Segala sesuatu seperti estetika dan lain-lain itu sudah inheren di kita. Hasilnya menyenangkan orang atau tidak, saya nggak begitu peduli. Makanya saya kalau bikin ya bikin aja. Cerita saya begini, menyenangkan orang atau tidak, nggak terlalu penting buat saya. 

Rara Sekar
Yang penting mungkin ceritanya sesuai dengan apa yang mas Erik ingin ceritakan itu ya?

Erik Prasetya
Iya. Estetik pada waktu yang sama ya oke, nggak apa-apa. Tapi itu bonus saja. Kalau enggak pun, ya buat saya…. Estetika itu sebenarnya…. Saya kan melakukan pencatatan. Estetika itu semacam komputasi dalam matematika yang bisa meringkus data untuk dikirim ke masa depan. 

Pertanyaan simpel saya, kita tuh suka datang ke Borobudur karena apa? Karena keindahannya. Data-datanya kemudian kita baca. Jadi fungsi utama estetika yaitu supaya catatan kita ini masih dilihat orang di masa depan. 

Rara Sekar
Kendaraan yang bisa melampaui zaman ya?

Erik Prasetya
Betul. Dia bisa mengirim komputasi yang bisa meringkus data dan mengirim ke zaman yang lain. 

Rony Zakaria
Sepertinya salah satu perbedaan fotografi di generasi Bang Erik dengan generasi sekarang adalah bagaimana praktisi di generasi terdahulu sadar akan pentingnya kontrol akan karya kita, agar tidak digunakan untuk tujuan yang tidak kita inginkan. Hal ini sangat digampangkan oleh praktisi generasi saat ini dimana foto digunakan dengan sadar atau tidak menjadi propaganda. Menjadi viral dianggap sesuatu yang sangat membanggakan dan prestasi. 

Saya ingin bertanya, apa yang membuat Bang Erik terus berjalan sampai sekarang di dunia fotografi? Apa yang masih ingin disampaikan sebagai pembuat karya visual dimana Bang Erik masih tetap dengan cara yang lambat dan melawan cara kerja yang trendi dan serba cepat? Apa kepuasan fotografi untuk Bang Erik?

Erik Prasetya
Karena pertanyaannya susah jadi jawaban saya tuh simpel aja. Barangkali kutukan fotografi. Buat saya, kenapa saya bolak-balik ke jalan mencari sesuatu yang tidak terlalu jelas juga –yang belum saya konsepkan apa juga sebenarnya –karena ini semacam kutukan. Saya pribadi hanya harus melakukannya. Sama seperti fotografer muda sekarang seperti Romi Perbawa.

Romi Perbawa kan sekarang sedang menggarap tentang pekerja-pekerja imigran. Saya bilang, “Waduh, berat sekali kutukanmu ya…” Kalau kutukanku cuma ke jalan dan memotret itu sementara kamu, bebannya itu kamu bawa pulang. Setiap masuk penjara dia ‘menyogok’ kiri-kanan. Melakukan apa saja agar dapat foto-foto itu dan membangun ceritanya. Ini kan tidak gratis.

Beban ini kan dibawa pulang. Ketidakenakan segala macam kan menetap. Jadi ini semacam kutukan dalam fotografi. Kalau kamu serius mendedikasikan dirimu untuk sesuatu yang kamu percaya, maka ia menjadi semacam kutukan. Seperti Sisipus yang mendorong batu ke atas lalu turun lagi, lalu dorong lagi ke atas. Daripada enggak kerja. Kadang-kadang saya merasa begitu.

Saya memotret di jalan, sudah seminggu tidak dapat apa-apa. Hari ke-8, masa sudah seminggu nggak dapat? Hari ke-9 juga masih nggak dapat. Tapi begitu dapat ya… kemarin dapat. Barangkali harus di sini baru dapat. Jadi dapat atau nggak dapat itu efeknya hampir sama. Cuma kalau dapat agak senang. Tapi dorongan untuk pergi ke jalan itu tetap sama. 

Saya rasa itu jawaban kenapa saya melakukan hal yang sama dan tetap bahagia.

Ben Laksana
Ini terikat dengan yang mas Erik bilang sebelumnya, bahwa mas Erik manusia sebelum fotografer. Seperti ada tanggung jawab kemanusiaan gitukah?

Erik Prasetya
Ya mungkin. Saya merasa fotografi itu medium yang memang pas buat saya. Dari kecil saya sudah dikenalkan dan menguasainya. Dan saya punya kemampuan bercerita. Tugas saya sekarang adalah bercerita dengan medium ini. Ke mana? Tempatnya sudah saya pilih yaitu Thamrin–Sudirman. Ya tinggal melakukan aja.

Rara Sekar
Mas Erik pernah nyobain medium lain nggak sih? Pernah bosan? Atau merasa nggak dapat? 

Erik Prasetya
Video nyoba, film saya pernah. Enggak…. Saya tuh one man show. Saya nggak mau direct terlalu banyak, modal nggak perlu terlalu banyak. Makanya pilihan hidup saya itu simpel. Sesimpel mungkin agar saya bisa fokus di sesuatu yang ingin saya kerjakan dan itu panjang waktunya. 

Ben Laksana
Itu sangat fotografer ya. Sangat soliter.

Rara Sekar
Tapi juga terhubung dengan kehidupan, melalui fotonya. 

Razan dan Anisa
Bagaimana pendekatan yang dilakukan saat mengerjakan suatu proyek foto sehingga karya yang dihasilkan otentik, jarang dilihat oleh masyarakat, dan berdampak bagi masyarakat luas? 

Bagaimana proses membangun narasi visual dan menerjemahkan proses berpikir, memahami, hingga refleksi terhadap fenomena sosial di sekitar Mas Erik untuk kemudian menuangkannya menjadi narasi visual melalui foto?

Rara Sekar
Mungkin lebih ke gimana cara kerja mas Erik kalau bikin photo story atau proyek documentary?

Erik Prasetya
Jadi kalau saya pingin bikin sesuatu, pertama saya terjun ke situ dulu. Ambil data segala macam.

Rara Sekar
Ambil data tuh maksudnya mengobservasi?

Erik Prasetya
Foto. Saya mulai foto-foto, kemudian saya pelajari apa yang paling banyak saya foto. Itu kan ketertarikan saya, pertama. Kemudian, mungkin ini temanya. Jangan terlalu terikat. Kalau sudah tahu temanya ini kira-kira, coba cari fokusnya. Kejar fokusnya. Ini, ini, ini. Ya sudah, bikin dummy. Saya selalu punya album untuk bercerita tentang apapun. Jadi semua proyek saya tuh ada albumnya.

Ada tentang mall, ada tentang kafe, ada tentang jalanan, ada tentang Jabotabek, ada tentang gerakam mahasiswa. Gerakan mahasiswa ada empat album. Ada Forkot, ada…….

Rara Sekar
Itu di-print sendiri?

Erik Prasetya
Iya. Saya pilih foto-foto yang kira-kira menjadi cerita. Dan saya pikir, wah, ini kurang ini fotonya….

Kurang ini dan kurang itu. Jadi ketika saya harus bikin Eros dan Reformasi ya sudah, saya tinggal ambil empat album. Cukup nggak ya kira-kira? Bisa! Jadilah satu buku. Women on Street juga begitu.

Jadi memang awalnya lebih membuka diri. Terbuka. Jadi kalau kita udah punya tema dan ternyata bukan itu, ya sudah. Berubah aja. Cari-cari. “Enggak, ternyata bukan ini.” Ya sudah. Jadi kita selalu terbuka terhadap sesuatu yang kita hadapi. 

Kenapa saya selalu menekankan keterbukaan dalam melakukan street photography? Karena itulah modalnya. Kalau belum apa-apa kita sudah menentukan fotonya harus ini, harus ini ya…. nanti jadi template

Ben Laksana
Apakah Mas Erik juga melakukan riset non-fotografis? Dalam artinya misalnya tadi Women on Street. Kita ingin memahami relasi gender dalam masyarakat kita. Yang pasti untuk memahami itu kita tidak bisa hanya berkutat di fotografi kan ya? Kita harus belajar menemukan konteks, membaca…

Erik Prasetya
Ya, saya belajar banyak dari film, bacaan sastra, pertunjukan, segala macam. Sesuatu di sekeliling kita yang sifatnya mungkin mirip sama yang kita lakukan. Cuma ada yang pencariannya ada di musik, pencarian saya di foto. Tapi mungkin sama, bentuknya aja yang lain. Nah, itu kita perlu belajar. Oh, dia angle-nya gini, berbeloknya di sini. Oke! Kalau di foto mungkin bisa begini.. Barangkali.

Saya selalu nyoba. 

Rara Sekar
Jadi terbuka juga untuk belajar dari berbagai pendekatan seni ya sebenarnya?

Erik Prasetya
Harus. 

Rara Sekar
Lalu kapan mas Erik nentuin ini selesai proyeknya atau ini bisa jadi buku?

Erik Prasetya
Ya itu…. kadang-kadang karena deadline juga.

Rara Sekar
Hahaha. Pragmatis ya… Aku suka jawaban begini.

Erik Prasetya
Iya, misalnya publish ya sebelum Pemilu. Ya siap!

Rara Sekar
Oke, berarti lebih pragmatis ya biasanya?

Erik Prasetya
Iya. Kalau enggak bisa panjang sekali, kayak Thamrin–Sudirman itu saya mencanangkan tiap lima tahun bikin buku. Ternyata tujuh tahun. Sekarang belum apa-apa sudah tiga tahun lewat, berarti waktu saya tinggal empat tahun lagi. Tapi ya selalu ada target. Itu menyenangkan. Sebuah pekerjaan yang menyenangkan.

Vembri Waluyas
Apa yang membuat Bang Erik memiliki konsistensi memotret isu-isu yang Bang Erik pilih meski isu itu tidak populer dan tidak memberi keuntungan secara finansial? Bagaimana Bang Erik merawat konsistensi itu? 

Erik Prasetya
Wah pertanyaannya susah ya… Apa ya?

Rara Sekar
Ini kayaknya temen-temen fotografer di sini lagi pada mencari harapan ya? Hahaha.

Ben Laksana
Karya-karya Mas Vembri sangat bagus tentang masyarakat Papua yang tertindas juga gara-gara alam yang sudah dirusak. 

Erik Prasetya
Iya. Itu persoalan-persoalan yang sangat menarik. 

Erik Prasetya
Kalau saya sih dari awal saya bikin hidup saya simpel. Nggak terlalu banyak butuh bekerja untuk uang supaya saya punya waktu untuk menggarapnya dengan baik. Makanya zaman itu pacar nomor sekian. Jadi saya tuh lebih suka menimbun film dan obat-obatan…

Rara Sekar
Obatan-obatan apa nih, mas? Hahaha.

Erik Prasetya
Obat-obatan untuk nyuci film.

Ben Laksana & Rara Sekar
Ooh.. Kirain ada rahasia, obat-obatan..

Erik Prasetya
Tapi agak susah ya jawabannya untuk Vembri ini. Apa ya kira-kira?

Rara Sekar
Apa kutukan tadi, mas?

Erik Prasetya
Ya mungkin. Jadi kamu harus pandai menjaga api yang kamu bawa karena kamu yang membawa api itu. Kamu yang akan bercerita. Kalau api itu padam, cerita itu habis. Tapi kalau dia mengecil ketiup angin, kamu harus menjaganya tetap hidup dan suatu ketika dia jadi sesuatu. Apapun jadinya itu, mungkin kita harus berpuas diri dengan itu. 

Ben Laksana
Sebenarnya jawabannya sangat personal sih. 

Rara Sekar
Mungkin cara kita menjaga api itu akan sangat berbeda setiap orangnya.

Erik Prasetya
Tentu, akan sangat beda.

Rara Sekar
Tapi adalah penting untuk menjaga itu. Karena hanya dengan itu mungkin kita merasa benar-benar hidup ya, mas?

Erik Prasetya
Iya. 

Surya Aditya
Jika ada sesuatu yang dapat mas Erik wariskan ke generasi yang akan datang, hal apakah itu?

Erik Prasetya
Ya sebenarnya gini…. Kalau saya itu kan seluruh hidup saya untuk memotret. Saya itu hanya ingin bercerita tentang sesuatu yang saya alami di masa hidup saya lewat foto-foto yang sangat personal. Saya harapkan itu bisa menjadi cerita yang bermanfaat bagi orang lain. 

Jadi ini semacam… gimana ya? Yah, punyailah ketekunan untuk melakukan sesuatu dan itu jangan tanggung-tanggung karena itu akan mengantar kamu pada sesuatu yang betul-betul kamu ingin capai. Kurang tepat tapi mungkin…. susah jawabnya.

Rara Sekar
Setuju, mas. Jadi teringat satu kutipan. Dia bilang, “wherever you go, go with all your heart.” Intinya benar-benar sepenuhnya dan karya Mas Erik sebenarnya sampai sekarang sudah jadi salah satu acuan buat teman-teman fotografer. Bukan cuma fotografer jalanan ya…. Nah, itu juga pasti karena kerja keras dan ketekunan mas Erik yang masih berlangsung sampai sekarang sih.

Suatu keistimewaan bisa ngobrol dan mendokumentasikan pemikiran mas Erik juga di tahap ini. 

Ben Laksana
Saya pribadi sangat suka sih menelusuri orang di balik sebuah karya karena kita akhirnya benar-benar memahami kenapa karya ini bisa lahir. Dan kita seringkali luput bahwa sebuah karya tidak lahir dari ruang kosong saja tapi ada konteks pengalaman hidup yang dialami fotografer dan akhirnya memaksakan agar karya ini bisa lahir. 

Hari ini sangat seru sih akhirnya bisa benar-benar memahami kenapa karya-karya mas Erik yang telah lama kita lihat ini akhirnya bisa muncul di masyarakat kita saat ini. Dan sangat dihargai juga dan dilihat pentingnya untuk masyarakat kita sendiri sih sebenarnya.

Rara Sekar
Mas Erik, bolehkah berbagi satu fotografer atau karya foto yang sangat mempengaruhi Mas Erik? Juga mungkin fotografer-fotografer muda Indonesia yang Mas Erik lihat menjadi idola-idola atau referensi-referensi fotografi Indonesia untuk bisa lebih maju lagi?

Erik Prasetya
Saya dulu waktu belum menjadi fotografer itu sempat melihat buku yang dibikin tentang Indonesia oleh seorang fotografer LIFE, Co Rentmeester. Indonesia membayar dia untuk bikin buku foto tentang Indonesia pada waktu kita 25 tahun merdeka. Jadi buku tahun 1970-an. Buku itu sangat berkesan buat saya karena judulnya Three Faces of Indonesia

Dia menemukan bahwa ada tiga hal yang penting dalam kehidupan orang Indonesia yaitu kelahiran, perkawinan, dan kematian. Pada tiga hal itu, batik selalu hadir. Nah, itu tema dia. Dia menggarapnya menelusuri tema itu. Menarik sekali. Nah, itu pertama saya tahu… oh oke, saya mau bercerita kayak gini. Itu sekitar tahun 1980-an. Saya melihat buku itu di perpustakaan Herman Lantang.

Kemudian tahun 1990-an awal, saya punya kesempatan ke Belanda dan membeli buku 

Carl De Keyzer, judulnya India. Dia fotografer Magnum. Dia motret India sebagai turis atau mungkin fotografer biasa, tapi dia mengambil tema kira-kira dalam kondisi apapun orang India ini selalu tersenyum. Selalu ketawa. Dia memang main di luaran tapi dalam hitam-putih yang bagus dan dengan film Hasselblad –dan saya sangat “Wow! Ini style-nya boleh!” Style-nya oke. 

Saya sangat terpengaruh mungkin. Begitulah cerita awal ketertarikan saya pada fotografi. Tapi seperti saya bilang tadi, generasi-generasi yang baru sekarang juga mengagumkan buat saya. Romi Perbawa, Yoppy Pieter. Jadi kalau kamu bercerita dengan kedalaman, kamu menyelam ke dalam dan total di situ, buat saya hasilnya itu layak.

Jangan memotret hanya snapshot dan iseng-iseng tapi pakailah fotografi ini menjadi medium untuk menciptakan sesuatu yang menurut kamu penting. Apapun itu. 

* * *

Akhirnya puluhan ribu mahasiswa menduduki gedung DPR dan bertahan di sana. Pameran Daring Kesadaran Jalanan. Foto: Erik Prasetya.
Arkademy
Latest posts by Arkademy (see all)

No Comments

Leave a Reply