Kurasi dan Kuasa di Ruang Tamu Kita

“Itu siapa yang ada di pigura paling atas?” tanya saya persis setelah dipersilakan duduk. Si tuan rumah, yang tak lain adalah paman saya sendiri, menjelaskan sambil menyuguhi saya stoples nastar, “Yang di foto itu sepupu kakekmu, waktu itu dia masih di Sekolah Rakyat.” Ruang tamu itu tak begitu luas, mungkin sekitar 3 x 4 meter saja, dindingnya berhiaskan foto-foto lawas hitam-putih yang dibingkai dengan baik. Ada foto paman saya saat masih bayi, bertarikh 1952. Ada lagi foto-foto kakek yang, menurut penuturan paman saya, diambil saat masa penjajahan Jepang. Silaturahmi saat lebaran membuat saya bersitatap lagi dengan wajah-wajah leluhur, ya melalui ‘galeri’ di dinding ruang tamu paman saya itu.

Pertanyaan tentang “siapa” saat melihat foto di ruang tamu kadang bisa berlanjut menjadi cerita yang sangat menarik. Dari sebuah foto, riwayat keluarga bisa tersaji lengkap seturut cerita. Ibu saya kerap menyajikan itu kepada tamu-tamunya: Oh yang berdiri di belakang di foto itu si kakak, itu waktu sebelum dia wisuda, sekarang dia sudah menikah dan tinggal di Surabaya, nah yang di sebelahnya itu si bungsu, waktu itu dia baru jatuh dari sepeda blablabla. Meski menarik, terkadang pertanyaan dan cerita-cerita itu keluar sebagai basa-basi saja saat obrolan buntu.

Apakah foto-foto di ruang tamu kita hanya hadir sebagai bahan basa-basi semata? Saya kira tidak. Relasi foto dan ruang tamu bisa jadi tidak sesederhana yang kita kira. Banyak orang melihat dan memajang foto di ruang tamu sebagai printilan dekorasi semata. Padahal, alasan sebuah foto terpajang di sana bisa lebih dari sekadar hiasan belaka. Belakangan, saya tertarik memperhatikan foto-foto apa saja yang biasanya terpajang di ruang tamu dan raison d’etre semacam apa yang menyelubungi kehadiran foto-foto itu di sana. 

Mari kita mulai dari ruang tamu itu sendiri. Sebagai sebuah media, dinding ruang tamu selalu punya kapasitas yang terbatas. Itu membuat orang tak bisa memajang semua foto yang dia inginkan sesuka hati seperti di Instagram; harus ada foto yang dipilah dan dipilih. Proses memilah dan memilih ini, tanpa disadari, sebenarnya melibatkan pertimbangan-pertimbangan yang tak kalah rumitnya dari proses kurasi di galeri foto profesional. Pertimbangan paling dasar tentu berhubungan dengan fungsi ruang: karena ruang tamu lazim berfungsi sebagai tempat berkumpulnya keluarga, maka foto-foto yang dipilih tentu saja adalah foto keluarga. Itulah kenapa lazim sekali kita jumpai di dinding ruang tamu terpajang foto resepsi pernikahan dan foto wisuda, dua jenis foto yang biasanya menampilkan anggota keluarga lengkap. Jika kita berkunjung ke rumah induk dari sebuah keluarga besar, biasanya di ruang tamunya juga terpajang foto para sesepuh seperti yang saya jumpai di rumah paman. Selain untuk membangun suasana, adanya foto-foto keluarga di ruang tamu juga berfungsi untuk memperkenalkan para individu anggota keluarga kepada para tamu. Nah, perkara memperkenalkan ini akan berhubungan dengan pertimbangan kedua: foto sebagai identitas.

Foto-foto terpilih yang muncul di ruang tamu biasanya akan secara kuat mewakili identitas keluarga. Identitas ini tidak hanya soal “siapa” secara personal, meski memang itu tujuan awalnya. “Siapa” dalam foto itu juga hadir sebagai simbol yang menandai status sosial, kelas ekonomi, bahkan asosiasi kultural sebuah keluarga. Misalnya begini: di ruang tamu kawan saya terpajang potret kakak dan ayahnya, yang sama-sama mengenakan seragam Polri. Saya tentu saja bisa mengenali dua sosok itu secara personal. Namun, bagi tamu asing, foto si kakak dan sang ayah beserta atribut profesi yang menyertainya bisa jadi akan menyampaikan pesan khusus soal “posisi” keluarga kawan saya itu di masyarakat. Saya kira foto-foto pernikahan dan wisuda juga mengandung pesan serupa: untuk meneguhkan kelas ekonomi dan level pencapaian intelektualitas. Foto pernikahan biasanya juga sarat dengan simbol yang menegaskan muasal kesukuan sebuah keluarga. 

Kita juga bisa mengetahui identitas keagamaan (terkadang juga afiliasi ideologis) sebuah keluarga dari foto-foto yang terpajang di ruang tamunya. Semasa kuliah di Malang, saya pernah punya kawan yang selalu menolak ketika diajak solat berjamaah di musola kampus. Saat main ke rumahnya, saya melihat satu foto mengejutkan di ruang tamu: terpampang dalam ukuran besar foto kawan saya itu bertelanjang dada sedang memanggul salib. “Itu waktu Natal tahun kemarin, aku kebagian peran yaah begitulah,” ujar kawan saya sambil nyengir. Saya tidak bisa berkomentar apa-apa, foto itu sudah menjelaskan semuanya (kok bisa-bisanya saya mengajak ‘Yesus’ solat berjamaah). Di Madura, apalagi di Sumenep, para tetangga saya lazim memajang foto habib atau kyai panutan mereka di ruang tamu; ini lumayan membantu saya untuk berhati-hati mengomentari isu-isu agama dan politik saat bertamu. Bapak saya sendiri memajang dua foto grandsyaikh Naqsyabandi Haqqani dalam ukuran 20R di ruang tamu. Jika di sebuah teras terpajang foto Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari atau foto Gus Dur, misalnya, bisa dipastikan si tuan rumah tak akan menolak undangan tahlilan. 

Di luar kedua pertimbangan tadi, masih ada pertimbangan lain yang mendasari proses kurasi foto di ruang tamu: standar estetika. Karena ruang tamu bersifat semi-publik, maka biasanya foto-foto yang terpajang di situ tak bisa lepas dari standar estetika yang sedang berlaku di masyarakat. Bagaimanapun juga, foto-foto di ruang tamu tak hanya dinikmati oleh si tuan rumah sendiri, foto-foto itu diandaikan juga akan dilihat oleh orang lain. Di ruang pribadi, seperti kamar tidur, saya bisa bebas memajang foto ikonik Marilyn Monroe. Jika foto itu terpasang di ruang tamu, bisa dipastikan saya akan kena tegur. Kenapa? Gambar perempuan seksi dengan rok tersingkap bukanlah sesuatu yang estetis bagi publik di lingkungan saya tinggal (apalagi jika gambar perempuan seksi itu saya dampingkan dengan potret tokoh sufi, insyaallah saya langsung jadi musuh masyarakat). Saya mungkin akan lebih nyaman memajang foto lanskap Masjidil Haram atau foto karapan sapi di ruang tamu.

Menariknya, semua pertimbangan tadi sebenarnya punya satu benang merah: semuanya bertendensi meneguhkan sesuatu yang diakui secara sosial. Foto-foto di ruang tamu bisa saja dipilih berdasarkan selera personal, tapi alasan kemunculan foto-foto itu sebenarnya tunduk pada tata aturan sosial. Di titik ini, saya mulai menyadari satu hal: kita tidak benar-benar punya kuasa bebas-mandiri dalam proses kurasi foto di ruang tamu kita sendiri. Ada kuasa lain di luar diri kita, ia diam-diam ikut membentuk dan mengatur apa yang kita kira sebagai “selera personal”. Kuasa lain itu, saya kira, bernama norma.

Pada akhirnya, saya menemukan norma menyusup di dinding ruang tamu kita dalam bentuk foto. Sekilas, apa yang tampak dalam foto-foto di ruang tamu kita adalah wajah para anggota keluarga. Jika kita amati lebih intens, apa yang tak tampak tapi ikut hadir di situ sebenarnya adalah wajah norma masyarakat kita. Norma ikut berkuasa di dinding ruang tamu kita untuk mereproduksi pengetahuan kolektif tentang keluarga ideal. Reproduksi pengetahuan itu mewujud dalam foto prosesi pernikahan monogamis-heteroseksual, dalam foto anak-anak lucu yang sudah mengenakan jubah dan toga sejak masih TK, dalam foto seorang bapak berseragam penuh pangkat, dalam foto tokoh agama yang wajahnya memancarkan aura kesalehan, atau dalam foto-foto serupa yang oleh masyarakat diakui sebagai penanda pencapaian dan kesuksesan. 

Ngomong-ngomong soal pencapaian dan kesuksesan, saya jadi ingat satu anekdot: seorang juragan tembakau di Madura baru-baru ini memarahi anaknya yang baru lulus kuliah. Sang Juragan marah karena wisuda anaknya ternyata berlangsung secara virtual, di ruang tamunya sendiri pula. “Abah ini sudah bela-belain jual sawah jual sapi buat masakola kamu ke universitas,” omel Sang Juragan pada anaknya, “Akhirnya kok nggak dapet foto wisuda sama sekali, kan rugi bandar.”


***

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili Arkademy sebagai kolektif.

 

No Comments

Leave a Reply