Membaca Tanah yang Hilang: Mengingat Mereka yang Tak Bisa Pulang

Ini kali ketiga Pak Ahmad tidak mudik saat lebaran. Penjual martabak asal Sidoarjo itu, yang kebetulan mengontrak kios persis di sebelah rumah saya, masih terpantau berlebaran di kontrakan bersama istri dan anak-bayinya pada 2019 silam. Ketika waktu itu saya tanya kenapa beliau tidak mudik, jawabnya singkat: “Uangnya gak cukup, Mas.” Waktu itu, Pak Ahmad memang belum lama membuka usaha martabaknya di Sumenep. Setahun kemudian, sebagaimana sudah kita ketahui bersama, huru-hara korona melanda dan mudik lebaran resmi dilarang oleh negara; Pak Ahmad lagi-lagi tak pulang kampung, kali ini ia melewati malam takbiran seorang diri—terpisah dari anak-istrinya di Sidoarjo. Di lebaran tahun 2021 ini, saya bahkan tak tega bertanya kenapa Pak Ahmad masih tidak pulang kampung. Belum lama ini, tetangga saya itu curhat soal kondisi finansialnya yang sedang dalam masa sulit. “(Tarif) sewa kontrakan naik, duit ngepas cuma buat ngirimi istri, Mas,” keluhnya. Sumenep-Sidoarjo memang tak terlalu jauh, tapi jarak bisa nisbi di hadapan kesulitan ekonomi.

Pak Ahmad mengingatkan saya pada orang-orang Sidoarjo lainnya yang tak bisa lagi pulang kampung. Jauh sebelum pulang kampung dan mudik jadi perkara nasional gegara pandemi, ada orang-orang yang tak akan pernah bisa kembali ke kampung halaman mereka. Musababnya sederhana saja: kampung halaman itu sudah lenyap terendam lumpur. Kisah sedih ini sebagiannya terdokumentasikan dalam monograf karya Mamuk Ismuntoro, Tanah yang Hilang (2014). Monograf ini dirancang sebagai sebuah media komemoratif atas kasus Lumpur Lapindo yang terjadi di Porong, Sidoarjo, sejak tahun 2006 silam. Belum lama ini, ketika linimasa medsos dipenuhi perbincangan soal larangan mudik dan pulang kampung, saya membaca lagi monograf terbitan Yayasan Panna itu. Kebetulan juga, beberapa hari lalu kita melewatkan tanggal semburan pertama Lumpur Lapindo: 29 Mei. Jadi, ini memang waktu yang pas. 

Tanah yang Hilang memuat 25 foto, bertitimangsa antara tahun 2006 hingga 2014. Halaman-halaman awal Tanah yang Hilang menyuguhi kita beberapa foto lanskap danau lumpur. Mamuk kemudian menyajikan—masih dengan format foto lanskap—bagian-bagian spesifik dari beberapa kampung yang terendam lumpur. Di bagian akhir, Mamuk memungkasi keseluruhan narasi visualnya dengan sebuah puisi berjudul Kulihat Bulan—barangkali untuk menandai betapa personalnya monograf ini untuk Mamuk sendiri, yang pernah bertugas sebagai juru foto di Porong tepat setahun sebelum wilayah itu direndam lumpur. 

Terus terang, saya terpukau melihat foto-foto horizon danau lumpur yang seolah menyatu dengan langit. Di satu halaman, saya menjumpai foto danau lumpur seperti cermin, tampak tak berbatas, dengan ornamen semburat merah mentari; puitis sekali. Perasaan saya tergugah melihatnya, betapa dahsyat dan megahnya pemandangan itu. Persis di halaman berikutnya, kedahsyatan puitis dan kemegahan estetis itu tanpa basa-basi diambyarkan oleh foto seorang bapak sedang berjongkok di sebuah pemakaman. Dua telapak tangan bapak itu dikatupkan menutupi wajahnya dengan gestur persis orang mengakhiri doa atau mengusap air mata. Di halaman-halaman selanjutnya, hal yang sama terjadi: kedahsyatan foto lanskap akan diremukkan oleh kedukaan potret manusia. Secara umum, saya yakin siapapun pasti punya impresi sedih ketika membaca Tanah yang Hilang. Foto-foto lanskap berisi puing-puing bangunan dan atap rumah terendam genangan lumpur memang kuat sekali menghadirkan perasaan haru. Apalagi rangkaian foto itu dilengkapi oleh potret-potret berwajah ngelangut. Mungkin juga perasaan semacam itu ada karena hasil konstruksi standard visual media massa ketika memberitakan bencana (alam). Untungnya, saya tidak mau buru-buru jatuh pada klise drama tragedi. Yayasan Panna, saya kira, tidak repot-repot menerbitkan serial foto ini hanya untuk mengestetisasi (apalagi mengglorifikasi) kesedihan. 

Mula-mula, saya tertarik memperhatikan anasir visual yang muncul hampir di seluruh foto-foto Tanah yang Hilang. Sejak halaman awal hingga akhir, Mamuk Ismuntoro konsisten menghadirkan fitur-fitur sosio-spasial: mulai dari pemukiman, pemakaman, tempat ibadah, pabrik, hingga jembatan layang jalan tol. Dalam foto-foto Mamuk, semua fitur itu punya satu kesamaan eksplisit: semuanya hancur. Di mata saya, apa yang sebenarnya hancur berantakan bukanlah sekadar bangunan-bangunan, melainkan juga tatanan masyarakat. Ketika Mamuk menyajikan foto atap masjid Desa Jatirejo yang hancur terendam lumpur, kita sebenarnya sedang menyaksikan hancur dan musnahnya relasi sosial yang pernah terjalin di ruang itu. Bayangkan para jamaah masjid Jatirejo yang rutin berkumpul dalam acara yasinan, tahlilan, dan pengajian; pasca kampungnya terendam lumpur, mereka terpencar dan mungkin saja tak lagi bisa saling terhubung satu sama lain. Menariknya lagi, di foto lain, hancurnya fitur sosio-spasial tidak hanya mengimplikasikan bubarnya relasi sosial antarwarga. Foto gapura pemakaman Desa Reno Kenongo yang terendam lumpur juga mengabarkan kepada kita putusnya relasi spiritual antara warga desa dan pusara leluhur mereka.

Kemunculan fitur-fitur sosio-spasial itu membawa imaji saya beranjak lebih jauh pada orang-orang yang kini tergeser (dan tergusur) dari ruang hidupnya dahulu. Fitur-fitur sosio-spasial itu, yang oleh pemahaman kita kerap direduksi secara simbolis menjadi sekadar tanah, jelas tidak bisa dipulihkan seperti sedia kala. Tentu saja di mata hukum perdata, tanah-tanah itu punya nilai ekonomi yang bisa disubstitusikan dengan uang dalam skema ganti rugi—itupun dengan berbagai persyaratan yang belum tentu bisa dipenuhi semua orang. Tapi, mau tidak mau manusia yang dulunya hidup dan berkehidupan di atas tanah itu jelas harus pindah. Ini saja bukan perkara mudah. Warga Porong tidak hanya harus meninggalkan paksa sejarah hidup yang sudah berjalinkelindan sedemikian rupa di atas tanah mereka, namun juga mesti memulai ulang segalanya di ruang baru dengan segala ketidaksiapan dan ketidakpastiannya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seorang petani Desa Reno Kenongo, misalnya, yang sudah berpuluh tahun hidup mapan bercocok tanam harus memulai hidup baru di daerah tanpa sawah. Para buruh yang sebelumnya bergantung pada denyut nadi industri kriya dan manufaktur di Porong juga tak pernah membayangkan tiba-tiba harus membangun keahlian kerja yang sama sekali lain. Peluang untuk orang-orang seperti ini sangat terbatas. Persoalannya, banyak pihak menganggap uang ganti rugi atas tanah adalah satu-satunya solusi pamungkas. Begitu warga Porong penyintas Lumpur Lapindo menerima uang kompensasi (entah itu ganti rugi atau bantuan) atas tanah-tanah yang terenggut, mereka diandaikan telah punya cukup modal untuk membangun kehidupannya dari nol kembali—tanggung jawab terhadap mereka telah tunai. Pada kenyataannya, hilangnya sejarah kehidupan di atas tanah tak pernah benar-benar bisa dikompensasikan dengan uang.

Kemunculan potret Diana di bagian akhir monograf menegaskan hal itu. Di foto itu, tampak seorang pengantin wanita duduk di bilik pengungsian, raut mukanya tak bisa dibilang memancarkan kebahagiaan; di sisi kiri foto, Mamuk menuliskan suara lirih Diana: “Jika ditanya soal rindu, siapa yang tidak rindu kampung halaman? Suasana desa Reno Kenongo masih hadir dalam mimpi saya.” Terdengar klise, memang. Tapi, suara lirih itu membuat saya sadar betapa kerinduan terhadap kampung halaman dan ritus sosial untuk menebusnya (mudik) adalah sebuah privilese. Banyak tetangga saya menjual sawah untuk merantau hingga ke Arab Saudi, tapi mereka tetap bisa pulang ke kampung keluarga yang masih ada, meski kampung itu telah mengalami perubahan ekologis sedemikian rupa. Andaikata Diana memulai hidup baru di luar Sidoarjo dan menjadi kaya raya, ia tetap tak akan pernah bisa kembali lagi ke kampung kelahirannya yang sudah tenggelam lumpur. Pulang adalah sebuah kemewahan yang telah direnggut paksa dari Diana dan warga Porong lainnya. Mungkin Desa Reno Kenongo masih ada dalam peta, dalam kenyataan ia sudah menjelma serupa permukaan planet antah-berantah. Meski begitu, asal-mula dari semua tragedi ini masih jadi perdebatan tak berkesudahan.

Belum jelas benar bagaimana kasus Lumpur Lapindo bermula. Wacana yang mula-mula beredar menyebut PT. Lapindo Brantas melakukan kesalahan prosedur pengeboran sehingga memicu semburan lumpur bawah tanah ke permukaan. Wacana itu kemudian dibantah oleh klaim PT. Lapindo Brantas sendiri yang melaporkan gempa tektonik sebagai pemicu meletusnya mud volcano di lokasi pengeboran. Perspektif mana yang kita ambil akan menentukan bagaimana kita melihat Tanah yang Hilang secara kontekstual: apakah kita sedang menyaksikan rentetan peristiwa dari sebuah fenomena geologis semata? Ataukah kita sedang melihat dampak bencana industrial yang padanannya barangkali bisa dilihat di Chernobyl dan Fukushima? Semua itu juga tergantung pada cara kita memaknai lokasi awal sekaligus pusat semburan lumpur di sumur pengeboran Banjar Panji-1 (BJP-1), sebuah situs eksplorasi gas bumi yang dikelola oleh korporasi multinasional. Kita selalu punya pilihan untuk memaknai BJP-1 sebagai teritori rawan bencana atau sebagai zona ekspansi kapitalisme ekstraktif. 

Akhirnya, saya menutup Tanah yang Hilang dengan menatap lagi wajah Diana di halaman akhir. Potret Diana, setidaknya di mata saya, adalah kolase imajiner wajah-wajah lain dengan nasib serupa: wajah orang-orang Syiah Sampang yang sejak 2006 dipersekusi dan karenanya harus ‘direlokasi’ ke Sidoarjo, wajah masyarakat adat Kepulauan Aru yang tanah-tanah ulayatnya digusur industri monokultur, wajah-wajah keluarga di Kulon Progo yang kampungnya dibuldozer proyek pembangunan infrastruktur, dan wajah seluruh warga kampung kota di sekitar kita yang pemukimannya diratakan atas nama gentrifikasi. Ritus kepulangan sebagai sebuah kemewahan telah direnggut paksa dari mereka semua. Orang-orang yang tak bisa pulang ini sejatinya telah mengalami bencana dua kali. Bencana pertama adalah ketika mereka tergusur dari tanahnya dan tak bisa kembali. Bencana kedua terjadi ketika negara (juga kita) diam-diam melupakan mereka. Tapi, perbincangan soal itu akan membawa kita melangkah semakin jauh dari fotografi….

***

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili Arkademy sebagai kolektif.

 

No Comments

Leave a Reply