Seiring dengan perkembangan internet, meme kini menjelma menjadi budaya populer di masyarakat. Di satu sisi, meme tidak sekadar menjadi kosa kata biasa di media sosial. Meme berfungsi sebagai format untuk berbagi ide dan menarik perhatian publik pada isu-isu tertentu, tetapi juga kerap dimanfaatkan sebagai retorika simbolis hingga kritik dalam percakapan dan pembahasan fenomena sosial, budaya dan politik secara diskursif (Wiggins, 2019). Alhasil, ini beresonansi pada potensi meme sebagai medium ekspresi politik dan kritik sosial lewat dunia digital. Adapun demikian, di sisi lainnya, penggunaan foto tampaknya telah menjadi elemen visual yang kian lumrah dalam menyokong bagaimana meme diciptakan dan dihidupkan. Dalam arti lainnya, meme, terutama yang berbasis foto, merupakan fusi antara fotografi digital dan budaya partisipatif dalam kultur media sosial. Berdasarkan hal tersebut, tulisan pendek ini punya intensi untuk menunjukkan bagaimana potensi meme sebagai corong kritik, sekaligus melacak bagaimana konsekuensi dari fenomena meme tersebut terhadap fotografi.
Meme sebagai Medium Kritik
Telah bermunculan beberapa studi yang mengangkat secara serius perihal bagaimana peran meme sebagai medium kritik yang menentang wacana negara atau rezim yang berkuasa. Di beberapa negara dengan karakter pemerintahan otoritarian, media digital—terutama meme internet—menjadi alat propaganda yang dapat mengubah dinamika opini publik dan aktivisme politik. Di mana negara memegang kendali yang kuat atas media, dan saluran informasi arus utama (official) hanya secara parsial memberitakan atau bahkan menghindari berbicara tentang hal-hal penting bagi publik, meme Internet dapat—sebagaimana dengan perlawanan kecil oleh orang-orang biasa dari praktik bergosip dan desas-desus (Scott, 1990)—memainkan peran sebagai corong politik alternatif untuk melemparkan kritik terhadap kekuasaan dengan cara tidak resmi (informal) dan implisit.
Dalam buku Internet Memes and Society: Social, Cultural, and Political Contexts, Anastasia Denisova (2019) membahas secara spesifik situasi politik negara Rusia yang dilihat melalui perkembangan meme di negara tersebut. Sebagaimana yang umumnya telah diketahui, rezim pemerintahan Rusia membatasi kebebasan berbicara dan berkumpul. Adapun media tradisional secara langsung dan tidak langsung berada di bawah kendali dan kontrol ketat negara tersebut. Menurut Denisova, dalam lanskap media yang menantang seperti itu, meme—dengan anonimitas, ambiguitas sarkasme dan humornya—memperoleh relevansinya sebagai sarana kritik terhadap penguasa. Struktur sistem politik Rusia yang tidak jelas dan kurangnya platform negosiasi yang mapan dengan negara menjadikan internet satu-satunya situs diskusi publik yang semarak, yang dengannya, membuat format meme telah berkembang menjadi instrumental dalam situasi ini. Di Rusia pembuat meme telah menjadi semacam jurnalis, aktivis sipil, dan pengunjuk rasa politik pada saat yang bersamaan (Denisova, 2019).
Sebagaimana dengan yang ditunjukkan oleh Moreno-Almeida (2021) dalam studinya di konteks negara Maroko dengan karakter pemerintahannya yang monarki dan militeristik. Meme merupakan potret dari tindakan partisipatif yang politis, di mana ia menyebut orang-orang yang terlibat dalam ekosistem meme mulai dari penciptaan, pendistribusian, hingga pembicaraannya di ruang-ruang maya sebagai digital amateur activists (DAA). Sebab, dalam temuannya studinya tersebut, meme bernuansa politik nyatanya dapat menangguhkan struktur hierarki yang bisa memungkinkan orang-orang biasa untuk mengkritik sistem monarki tanpa konsekuensi eksplisit (baik perundungan atau tindakan represif) dari kelompok penguasa (Moreno-Almeida, 2021). Dalam konteks ini, meme menyingkap suatu ilusi publik tentang kesepahaman bahwa semua orang menghormati sang raja Maroko. Berkenaan di mana warga merasa dikucilkan dari sistem dan corong politik formal, meme berperan sebagai bentuk keagenan yang sifatnya politis dan sekaligus kreatif yang menunjukkan hasrat mereka untuk berpartisipasi dalam arena politik dengan menyasar kelompok otoritas. Agensi yang dimaksud di sini diperoleh melalui photoshopping dan mengolok-olok sang raja yang menjadi subyek dalam meme visual yang diciptakan oleh para warganya. Dalam pengertian inilah kemudian warga menjadi aktivis digital karena mengeksploitasi meme sebagai senjata diskursif guna mengomentari dan mengkritik penguasa.
Bagaimanapun, ada kesamaan dari dua kasus tersebut di mana tidak dapat dikesampingkan bahwa kemungkinan penyebaran meme bisa meluas diperoleh dengan berlindung di balik anonomitasnya. Kerapkali sulit melacak asal muasal meme yang telah beredar di internet, dan ini dapat menghindarkannya dari pengawasan dan penyensoran oleh otoritas, sebagaimana kasus di Maroko dan Rusia di atas. Ditambah, tampaknya ia diuntungkan oleh watak media internet yang cair, yang kendati ada yang dinamakan sebagai hierarki jaringan, di mana orang-orang dengan lebih banyak follower dan akses ke jaringan pengguna dengan jumlah pengikut yang juga tinggi, mungkin lebih terlihat ketika mereka menyebarkan meme. Namun kini, bahkan pengguna dengan jumlah pengikut dan koneksi yang kecil sekalipun masih dapat menyebarkan meme yang menjadi viral di Internet—sejauh meme tersebut diambil oleh orang lain dengan modal jejaring yang lebih tinggi, dan dengan demikian menghasilkan efek bola salju (Nissenbaum & Shifman, 2017).
Sementara di konteks Indonesia, beberapa waktu belakangan beredar meme yang menyerang rezim penguasa. The king of lip service! Alias si Raja Omdo (atau omong doang), setidaknya begitu sematan gelar dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (selanjutnya disingkat BEM UI) ke Presiden Jokowi. Kritik tersebut dilayangkan BEM UI lewat akun media sosial Twitter mereka sekitaran bulan Juni 2021 lalu. Jokowi dianggap kerap mengobral janji pada rakyat Indonesia di mana kebijakan publik akan lebih inklusif, demokratis dan berkeadilan di bawah pemerintahannya, namun nyatanya bertolak belakang dari yang diharapkan sehingga memantik kritik tersebut menguar di media sosial. Tak berselang lama sejak postingan itu beredar dan ramai mendapat sorotan di jagat maya, pihak rektorat UI yang meradang karena presiden seolah-olah dilecehkan kemudian memanggil sejumlah pengurus BEM UI dan menyatakan tindakan mereka menyalahi aturan. Apa yang membuat tindakan BEM ini menjadi bermasalah? Pangkal urusannya karena di dalam kritik tersebut, BEM UI memberi gelar Omdo disertai foto Jokowi memakai mahkota, yang mana menurut pihak penguasa, kritik itu dalam penyampaiannya kurang tepat sebab menjadikan foto presiden sebagai bahan olok-olokan.
Di satu sisi, tindakan memakai foto presiden Jokowi sebagai subyek utama kritik dalam meme the king of lip service merupakan pengejawantahan dari tindakan BEM UI dalam melawan kekuasaan secara diskursif di era digital seperti sekarang ini. Terutama juga karena mobilitas fisik yang terbatas oleh penyebaran virus Covid-19 yang tidak kunjung usai akibat inkompetensi rezim dalam memanajemen pandemi. Sehingga, lewat visual yang provokatif, sarkastik dan komikal itu, BEM UI menciptakan pesan simbolis yang kuat dan mencolok sekaligus efektif dalam membawa gangguan dan meresahkan pihak yang berkuasa, dengan rektorat sebagai representasinya. Namun, tidak bisa dikesampingkan pula bahwa viralitas tersebut dipengaruhi oleh identitas BEM UI sebagai organisasi mahasiswa dengan reputasi besar di kancah aktivisme kampus di Indonesia. Artinya, modal kultural dan jejaring sosial pengaruh dari penggaung meme itu sendiri masih memainkan peranan penting dalam hal ini. Sementara itu, di pihak lainnya, dengan tindakan pemanggilan oleh rektorat tersebut, rezim yang berkuasa semakin menunjukkan dirinya yang berwatak iliberalisme yang berupaya memberangus kritik, dan di saat bersamaan kian mengafirmasi pandangan beberapa analis politik yang menilai kehidupan demokrasi Indonesia* mulai mengalami kemundurannya di era Jokowi (Diprose et al., 2019).
Dari pengalaman tersebut di atas, diperoleh suatu wawasan bahwa, meme telah menjadi semacam medium kritik untuk menyajikan gambaran realitas yang direduksi dan dipadatkan dalam format visual. Partisipasi adalah fitur penting dalam budaya meme karena ia hanya dapat berkembang melalui proses berbagi, penyebaran, dan mutasi dalam ekosistem jejaring sosial digital. Meme dalam kultur media digital membuat para pengguna tidak hanya sekadar menjadi penonton, melainkan juga sebagai peserta bahkan komentator di dalamnya. Sifat dan viralitas meme dalam kultur internet membuatnya menjadi corong alternatif kritik yang potensial untuk mengekspresikan pendapat, mendapatkan atensi, dan membela suatu tujuan tertentu. Meme tampaknya telah menjadi karikatur atau kartun politik di era digital yang mengomentari masalah politik dan sosial dalam bentuk yang komikal, satir, dan tentu tanpa menghilangkan substansi dan muatan kritiknya. Alhasil, meme dapat menarik atensi publik dan sekaligus menjadikannya sebagai senjata diskursif.
Meme dan Konsekuensinya terhadap Fotografi
Hal yang menarik untuk dicermati selanjutnya adalah, dalam fenomena meme di internet, foto tampaknya menjadi bahan mentah atau semacam template. Sebagaimana dengan apa yang terjadi pada foto Jokowi yang diletakkan sebagai sorotan kritik dalam meme king of lip service yang telah diuraikan di bagian sebelumnya. Dalam era digital seperti sekarang ini, ketersediaan foto melimpah ruah di internet. Sebab, kamera digital dan terutama telepon pintar mendukung pembuatan foto yang lebih cepat. Foto yang terdigitalisasi telah melewati batas materialitasnya bahkan dalam taraf tertentu berada di luar kendali si pembuat foto itu sendiri ketika sudah tersebar secara online. Hal inilah yang membuat kepemilikan atas foto menjadi suatu tantangan tersendiri di era digital. Keluwesan itu di sisi lainnya membuat foto dimanfaatkan menjadi semacam sumber daya publik di internet. Alhasil, foto yang direproduksi menjadi meme cenderung ahistoris karena sulit melacak kembali siapa pengkarya aslinya.
Sementara itu, sebagaimana yang umum dipahami selama ini, fotografi adalah sebuah teknologi dengan kecenderungan ke masa lalu di mana ia menjadi monumen ingatan atau sebagai penanda suatu zaman. Akan tetapi dalam meme, kiranya foto juga memiliki fungsi sebagai satu elemen untuk merepresentasikan fenomena atau wacana yang berlabuh pada masa kini, dengan memutus koneksinya terhadap masa lalu yang dibawa oleh foto itu sendiri dalam dirinya. Barangkali, foto sudah tidak lagi sekadar berhubungan dengan yang lampau, akan tetapi juga berorientasi pada kesekarangan (presentisme) dan masa depan. Artinya, bukan tentang apa yang diwakili oleh foto itu sendiri, tetapi apa yang akan menjadi versi lain dari foto tersebut. Seperti contoh foto di bawah ini yang populer dan kerap menjadi bahan meme kritik di internet.
Foto yang dipakai sebagai meme di atas memperoleh konteksnya yang sepenuhnya baru, di mana teks yang ditumpangkan dengan foto tersebut menjadi elemen konektivitas yang mengantarkannya pada isu yang sifatnya kontemporer: yang dalam hal ini foto tersebut bukan lagi berbicara tentang anak yang melangkahi tangga, melainkan mencerminkan isu yang berkenaan dengan pembangunan infrastruktur digital. Mengingat bahwa, foto, sebagai penanda, mengatakan terlalu sedikit, atau bahkan terlalu banyak, hal dalam dirinya, itulah mengapa ia perlu dilengkapi dengan suplemen teks sebagai bahasa yang lebih universal untuk mengatasi defisit makna yang diasumsikan, atau untuk menjinakkan surplus makna darinya. Lewat meme, keterbatasan tersebut diatasi dengan penggabunganya pada teks yang disajikan dalam satu bingkai. Dalam kaitannya dengan meme, foto hadir bukan sebagai representasi obyektif, namun selalu bergantung pada konteks di mana ia dilekatkan oleh si pembuatnya. Realitas di balik foto itu sendiri tercerabut dan digantikan dengan konteks lainnya, untuk kemudian digunakan dalam memunculkan realitas lain yang dikehendaki sang kreator meme. Ditambah dengan teknologi digital memungkinkan foto untuk dapat dibuat, diduplikasi, dan dimodifikasi kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja, hingga dapat dibagikan secara spontan dan bergulir dengan masif. Jika menengok pada studi yang dilakukan oleh Kuipers (2002), bermain-main dengan foto sebagai subyek humor sekaligus kritik, laiknya genre meme yang berkembang saat ini, sebenarnya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya digital sejak awal 2000-an. Semua lelucon di Internet nyaris bisa dipastikan memanfaatkan materi visual di mana prosedur pembuatannya paling baik diistilahkan sebagai teknik kolase yang merupakan rangkaian atas gambar, kata, frasa, kalimat, atau slogan-slogan populer dari berbagai sumber yang tersedia (Kuipers, 2002).
Bagaimanapun, dalam fenomena meme, foto (dan mungkin, demokratisasi akses pada fotografi) menjadi media percakapan yang hidup karena digunakan tidak sekadar untuk mengenang masa lalu tetapi sebagian besarnya untuk jembatan di masa sekarang. Juga, dalam arti yang lebih luas, foto secara inheren berorientasi pada masa depan karena ia dapat menjadi template yang menunggu untuk digunakan kembali sebagai meme, di samping bahwa meme kemudian memiliki potensialitasnya sebagai medium kritik itu sendiri. Meme visual tidak akan sepopuler ini jika orang-orang tidak tahu cara membaca atau turut serta secara aktif dalam menciptakan maupun memodifikasinya.
***
Catatan
* Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) dan Indeks Demokrasi Indonesia menggarisbawahi menurunnya kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai pangkal utama menurunnya kualitas demokrasi Indonesia. Laporan EIU menempatkan Indonesia pada urutan 64 dari 167 negara. Selengkapnya lihat analisis Wasisto Raharjo Jati di laman: https://www.habibiecenter.or.id/img/publication/ac06aed73a921420af78a420d4f6f50c.pdf
Referensi
Denisova, A. (2019). Internet memes and society: Social, cultural, and political contexts. In Internet Memes and Society: Social, Cultural, and Political Contexts. https://doi.org/10.4324/9780429469404
Diprose, R., McRae, D., & Hadiz, V. R. (2019). Two Decades of Reformasi in Indonesia: Its Illiberal Turn. Journal of Contemporary Asia, 49(5), 691–712. https://doi.org/10.1080/00472336.2019.1637922
Kuipers, G. (2002). Media culture and Internet disaster jokes: bin Laden and the attack on the World Trade Center Giselinde. European Journal of Cultural Studies, 5(4), 450–470. https://doi.org/https://doi.org/10.1177/1364942002005004296
Moreno-Almeida, C. (2021). Memes as snapshots of participation: The role of digital amateur activists in authoritarian regimes. New Media and Society, 23(6), 1545–1566. https://doi.org/10.1177/1461444820912722
Nissenbaum, A., & Shifman, L. (2017). Internet memes as contested cultural capital: The case of 4chan’s /b/ board. New Media and Society, 19(4), 483–501. https://doi.org/10.1177/1461444815609313
Scott, J. C. (1990). Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts. Yale University Press.
Wiggins, B. E. (2019). The Discursive Power of Memes in Digital Culture. In The Discursive Power of Memes in Digital Culture. https://doi.org/10.4324/9780429492303-2
Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili Arkademy sebagai kolektif.
Neuron Theme is a creative theme created and designed with love and passion.
No Comments