Virtual photoshoot atau pemotretan virtual menjadi hal yang tidak asing untuk kita yang wara-wiri di media sosial dua bulan belakangan ini. Pandemi membatasi gerak semua orang di seluruh dunia. Profesi yang bergantung pada interaksi langsung, seperti fotografer, tentunya paling terpengaruh. Akan tetapi, beberapa di antaranya berusaha memanfaatkan teknologi untuk saling mendekatkan.
Pemotretan virtual yang dikenal masa ini mulai saya ketahui saat melihat foto Bella Hadid yang beberapa kali muncul di Instagram Stories. Ia berpose untuk majalah Vogue Italia lewat FaceTime dan difoto oleh Brianna Capozzi untuk isu April. Buat saya itu menjadi angin lalu saja, hingga saya melihat satu per satu selebriti Indonesia dan beberapa fotografer lifestyle melakukan ini. Diikuti oleh beberapa teman saya yang juga berpose dan menerapkan tagar virtual photoshoot. Semua terjadi di bulan April.
Sumber: Instagram Vogue Italia
Mulai muncul berbagai pemberitaan yang mengatakan pemotretan virtual menjadi tren baru, bahkan di antaranya memberikan tips melakukannya sendiri di rumah. Kurang bijak rasanya (untuk saya) jika cepat-cepat mengamininya sebagai tren. Benarkah ini tren atau hanya menjadi pivot di masa paceklik ekonomi untuk tetap produktif? Atau pilihan bagi beberapa orang untuk bisa tetap tampil di media sosial?
—
Saya memahami potret atau pemotretan virtual terjadi ketika fotografer dan obyek atau subyek tidak berada pada tempat yang sama. Saya yakin hal ini juga yang dipahami oleh kebanyakan orang. Jika bisa disimpulkan: potret jarak jauh.
Jauh sebelum masa pandemi ini, saya telah mengikuti Jacqui Kenny (@streetview.portraits) di Instagram yang memperkenalkan fotografi virtual dengan memanfaatkan Google Street View. Ia menjelajah berbagai negara dan tetap bisa mengambil foto yang cantik bermodal metode screenshot dan telah melakukannya sejak 2016. Bagi saya, ini pun menjadi bentuk potret virtual juga. Semakin dicari tahu lebih lanjut, ada Jon Rafman yang juga menggunakan Google Street View, Joachim Schmid yang mengambil foto dari satelit, serta Michael Wolf yang bahkan memenangkan Honorable Mention di World Press Photo tahun 2011 dengan menggunakan metode memotret layar (dan menuai kritik).
Sumber: @JacquintaK di Twitter & Instagram streetview.portraits
Tidak sedikit perdebatan yang muncul di kalangan fotografer dan ini jadi hal yang menggelitik saya untuk mencari tahu lebih lanjut. Lebih menarik lagi, perdebatannya tidak hanya sekadar teknis, tapi juga alasan kenapa kegiatan ini jadi pilihan untuk berkarya.
Pemotretan virtual saat ini saya ketahui datang dari kebutuhan komersil. Informasi ini akhirnya menjadi latar belakang saya yang menganggap ini adalah penyesuaian para fotografer untuk mencari pemasukan. Vino contohnya, fotografer konser musik, ikut melakukan pemotretan virtual karena kegiatan ini banyak dilakukan fotografer lain. Ia bahkan tidak menjajakan jasanya, namun malah mendapatkan permintaan dari orang-orang. Baginya dan beberapa fotografer lain, pemotretan virtual membantu mereka bisa tetap berkarya terlepas dengan atau tanpa bayaran.
“Saya tidak menutup kemungkinan untuk melakukan pemotretan virtual bila pandemi ini berakhir. Namun kegiatan ini harus dilakukan dengan catatan bahwa harus menjadi bagian dari konsep kreatif atau hasil yang ingin saya dapatkan. Interaksi yang terjadi antara saya dan subyek tidak bisa tergantikan saat bertemu langsung karena ada chemistry yang tidak bisa diwakili lewat video call,” ungkap Vino.
Fotografer lainnya seperti Desta (atau lebih dikenal rukiinaraya) dan Fendy Lee juga mengakui bahwa pemotretan langsung lebih menyenangkan. Baik fotografer dan subyek bisa mengeksplor lebih banyak hal tanpa terbatas ruang gerak.
Satu benang merah yang saya tarik dari beberapa fotografer ini adalah proses kreatif yang mereka jalani. Ada ruang bernafas di tengah sesaknya batasan-batasan untuk bertemu orang. Tentunya kondisi saat ini begitu mempengaruhi para fotografer yang bergerak di bidang lifestyle. “Panggung” mereka untuk beraksi bisa dikatakan hilang.
Bagaimana dengan mereka yang dipotret secara virtual? Uria memanfaatkan jasa ini untuk mengabadikan momen dengan anak pertamanya yang memasuki usia tiga bulan. Bisa dikatakan bahwa pemotretan virtual membantunya mengabadikan momen-momen yang mungkin tidak bisa diulang jika menunggu pandemi selesai.
Jika kegiatan ini sebenarnya membantu banyak pihak, baik untuk tetap menjalankan profesi dan mengabadikan momen, kenapa banyak sekali kritik yang mendarat?
—
Beberapa hal yang saya temukan dari kritik mengenai pemotretan virtual tidak lain adalah masalah teknis. Segelintir orang tidak setuju karena fotografer hanya “memotret layar”. Ada juga yang mengatakan, fotografer hanya memotret saja sedangkan subyek atau model lah yang bekerja keras. Bahkan, metode screenshot pun dianggap tidak termasuk dalam teknik fotografi. Bahkan pembahasan editing pun muncul ketika orang awam menemukan berbagai filter ala pemotretan virtual.
Bagi Fendy (fotografer), dia justru harus berpikir lebih keras lagi. Walaupun interaksi langsung tidak ada, ia tetap harus melakukan directing. Hal ini tidak berubah dari pertemuan-pertemuan langsung dengan para subyeknya. Hal yang sama dirasakan oleh subyek foto. Cindy (model/subyek pemotretan virtual) contohnya mengatakan peran fotografer menjadi penting pada sesinya. Fotografer tetap harus memberi arahan mengenai angle subyek atau pencahayaan.
Saya termasuk orang yang pesimis saat mengetahui booming-nya pemotretan virtual, terutama dengan teknik memotret layar. Bagi saya, ini hanyalah sebuah gimmick agar fotografer tetap merasa sepenuhnya menjalankan profesinya dengan memegang kamera. Ini juga menjadi medium bagi pegiat media sosial untuk bisa terus tampil dan menyibukkan diri.
Setelah berdiskusi kecil-kecilan ini, saya bisa katakan bahwa pandangan saya sempit karena saya hanya memantau dari jauh. Saya memakai kacamata pribadi saat melihat timeline saya berisikan foto serupa. Ternyata kurang bijak rasanya jika saya menilai tanpa bertanya pada pelaku bahkan tidak melakukannya.
Apakah saya akan mencoba pemotretan virtual? Mungkin. Apakah saya cukup bersemangat saat membayangkan melakukannya? Tidak terlalu. Ada sebuah unsur yang hilang dari rasanya ketika kita tidak menjejak di tempat yang sama. Saya tetap lebih memilih merasakan ruang dan obyek-obyek yang ada di dalamnya daripada harus diwakili oleh provider internet. Di sisi lain, mungkin karena fotografer bukanlah profesi utama saya jadi tidak ada sebuah keharusan untuk melakukannya.
Pemotretan virtual (bagi yang melakukannya) adalah alternatif berproses kreatif. Debat mengenai teknis fotografi adalah sebuah perdebatan tanpa batas. Teknis adalah preferensi yang subyektif dan setiap orang memiliki preferensi yang berbeda-beda. Bila kita memakai analogi, ini sama halnya dengan saya yang tidak menyukai adanya bawang pada makanan saya, tapi orang lain menikmati wangi dan renyahnya bawang goreng.
Banyak sekali pendekatan dalam fotografi, bahkan di pemotretan virtual itu sendiri, dan alasan kenapa orang melakukannya. Satu hal yang kini saya pahami, tidak ada proses atau karya yang dapat terlepas dari kritik karena menikmatinya adalah sebuah kegiatan yang subyektif.
***
Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili Arkademy sebagai kolektif.
Neuron Theme is a creative theme created and designed with love and passion.
No Comments