Potret COVID-19 di Tiongkok

Saat ini, dunia kalang kabut menghadapi epidemi global COVID-19 dalam skala yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hingga artikel ini ditulis (23 Maret 2020), virus ini telah menewaskan 15.306 orang dari berbagai penjuru dunia –dan masih terus bertambah. Tiongkok yang jadi episentrum awal virus, berjuang keras selama tiga bulan sebelum berhasil menekan kasus ke titik nol.

Secara tak sengaja, saya sedang kuliah di Tiongkok ketika wabah menggemparkan ini mulai melanda. Kala itu, saya dan beberapa teman yang sama-sama berkuliah di Hainan sedang berkelana ke Shanghai dan Hangzhou, tanpa benar-benar menyadari betapa berbahayanya virus tersebut. Dalam perjalanan inilah saya memotret sejumlah suasana– yang sekaligus membuat saya amat ketakutan.

Imlek (Chinese New Year) merupakan hari raya yang disambut paling antusias oleh warga Tiongkok. Jauh-jauh hari, warga sudah memesan tiket buat pulang kampung. Tiket bus, kereta api, dan pesawat berbagai jurusan ludes. Itu sebabnya momen ini dikenal sebagai migrasi manusia terbesar di dunia. Mereka berkumpul bersama keluarga untuk bersantap dan berbincang, sambil main mahyong dan minum arak buat menghangatkan tubuh dari musim dingin yang menggigit tulang.

Potret Tiongkok semacam itulah yang saya lihat bertahun-tahun dari koran dan televisi. Sambil merayakan Imlek di Indonesia, saya membayangkan suatu saat bisa melihat langsung keseruan Imlek di Tiongkok. Kesempatan itu nampaknya tiba ketika pertengahan 2019 saya mendapat beasiswa setahun dari Pemda Hainan untuk belajar mandarin di salah satu kampus di Kota Haikou, ibukota Hainan. Hainan adalah pulau terpisah dari mainland yang posisinya paling selatan Tiongkok.

Kebanyakan teman Indonesia sudah mudik ketika libur semester tiba (sekitar minggu kedua Januari 2020). Saya memilih bertahan karena ingin sekali melihat langsung kemeriahan Imlek di mainland. Saya berencana mendokumentasikannya dalam wujud foto dan tulisan. Bersama beberapa rekan, sebulan sebelumnya saya sudah membeli tiket penerbangan dari Haikou ke Shanghai untuk jadwal penerbangan persis malam jelang Imlek yang jatuh pada 24 Januari 2020.

Saat itu, tentu saja saya tak menduga bakal menghadapi situasi yang sama sekali lain, situasi yang juga menggemparkan dunia: virus korona. Istilah ini pertama kali muncul ketika saya masih di Haikou. Namun kala itu saya mengiranya sejenis flu biasa yang tak berbahaya, apalagi berita-berita lokal belum heboh memberitakan kegawatan kasus ini. Meski kuantitas pemberitaannya meningkat pada pertengahan Januari 2020, saya masih belum merasakan derajat kegentingan yang serius.

Saya baru pertama kali menyadari betapa seriusnya virus yang kini dinamai COVID-19 ini di bandara, ketika menanti terbang ke Shanghai. Semua orang memakai masker, bahkan ada yang bermasker ganda. Papan pengumuman menginformasikan bahwa penerbangan dari dan menuju Wuhan semua dibatalkan. Kesiagaan bercampur kekalutan makin terasa setelah kami tiba di Shanghai. Kota yang biasanya jadi pergerakan utama bisnis dan arus manusia ini mendadak mati suri.

Awalnya, saya pikir warga mungkin sedang sibuk dengan keluarganya masing-masing. Anehnya, senyap masih menyelimuti Shanghai 2-3 hari setelah Imlek. Kawasan sekitar Shanghai Tower dan Oriental Pearl TV Tower yang dalam kondisi normal mustahil sepi, hanya dilalui segelintir turis. Sebagian besar restoran, pertokoan, dan vendor mall tutup. Bahkan pusat atraksi utama seperti Disneyland dan museum ditutup dengan pengumuman resmi demi mencegah penyebaran virus.

Suhu udara Shanghai yang mencapai 8 derajat Celcius, kabut tebal, dan hujan deras makin memuramkan suasana. MRT yang konon biasanya penuh sesak, terlihat cukup lengang. Tak nampak penumpang yang berani membuka masker saat berada dalam gerbong. Apakah mereka takut? Saya tidak tahu. Saya tak bisa membaca ekspresi mereka yang separuh wajahnya tetutup masker. Yang pasti, saya sendiri mulai gundah atas situasi yang mendadak terasa mencekam ini.

Tiga hari di Shanghai, saya dan kawan-kawan beranjak ke Hangzhou dengan menggunakan layanan MRT antar kota. Masih banyak kursi kosong dalam gerbong. Pemandangan luar biasa indah yang membentang sepanjang perjalanan tak mampu memupus kemuraman, terlebih saat itu pemberitaan seputar dampak virus kian massif. Saya tak sanggup membayangkan mereka yang kena virus dan terisolasi total. Jika di sini saja sudah mencekam, terlebih mereka yang tinggal di episentrum virus.

Tiba di Hangzhou, saya mendapati pemandangan yang tak kalah suram. Jalan-jalan utama yang biasanya jadi jantung utama turisme, berhenti berdenyut bak kota mati. Sekalipun tahu dampak virus makin gawat, saya sama sekali tak menyangka nyaris semua kota terkena imbasnya. Saya pikir, mungkin hanya kota-kota besar berskala “sangat internasional” seperti Shanghai saja yang sepi.

Tiba di hostel tujuan, petugas resepsionis bertanya rinci perihal riwayat perjalanan dan apakah ada di antara kami demam atau sesak napas. Setelah itu, suhu tubuh kami diukur saksama dengan infrared thermometer. Saat itu, kami baru tahu bahwa banyak penginapan memilih stop beroperasi sementara demi mencegah penyebaran virus. Di tempat wisata populer seperti West Lake (lokasi syuting White Snakes Legend), para petugas bersiaga memeriksa suhu tubuh tiap pengunjung.

Kesiagaan level tinggi seperti ini membuat saya sadar bahwa situasi memang sudah sangat genting. Demi keamanan, saya dan kawan-kawan pun sepakat membatalkan rencana perjalanan selanjutnya ke Suzhou dan Nanjing, terlebih pegawai hostel di Nanjing menginformasikan bahwa jalan-jalan tol di sana sudah mulai ditutup. Kami sepakat memutuskan pulang ke Haikou saja keesokan harinya.

Berbekal kamera handphone, saya berusaha mendokumentasikan sejumlah situasi selama lima hari perjalanan di Shanghai dan Hangzhou.

Saya memilih tidak latah mengunggahnya saat itu juga ke media sosial. Pertama, saya butuh waktu mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi di Tiongkok. Dinamika pemberitaan terkait COVID-19 bergerak sangat cepat tiap harinya, berkelindan dengan isu-isu lain seperti sosial-politik dan ekonomi global. Pergerakan ekstra kilat ini nyaris tak menyisakan ruang berpikir dan melepas diri dari rasa lelah dan terkejut atas apa yang baru saja saya dan teman-teman saksikan.

Kedua, saya tak bisa mengunggahnya ke media sosial non-Tiongkok tanpa Virtual Private Network alias VPN. Tiongkok adalah negara yang menerapkan restriksi ketat terhadap penyebaran informasi, termasuk karya foto. Media sosial yang bisa digunakan untuk menyebar informasi hanyalah produksi lokal seperti WeChat atau Weibo, itu pun mesti lulus sensor. Menyebar info dengan keterangan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan atau kurang matang sangat berpotensi memicu masalah.

Saya sadar bahwa medium fotografi tak mampu merepresentasikan kebenaran secara menyeluruh. Bisa saja saya (dan para fotografer lainnya) salah mengira. Mungkin saja sebagian mereka ternyata tidak gentar. Detik itu, sama sekali tak ada waktu untuk riset. Jangankan riset, WHO saja masih gamang mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Semua serba ambigu.

Tapi saya merasa bahwa yang paling terkena dampak langsungnya adalah warga biasa yang terpaksa berburu masker dengan harga tak masuk akal, lansia sebatang kara yang terpaksa keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hariannya, mereka yang tak sanggup beli kendaraan pribadi dan oleh karenanya tak bisa menghindari kerumunan di stasiun, juga para pegawai dan relawan medis yang masih harus banting tulang melayani masyarakat dengan risiko terinfeksi virus.

Bernapas dengan masker tiap hari sambil mewaspadai tiap sentuhan sungguh memberikan tekanan psikis bagi siapapun yang mengalaminya. Ke mana pun melangkah, ketakutan melanda. Imlek yang harusnya penuh keceriaan berganti jadi waswas luar biasa, tanpa tahu kapan semua ini berakhir. Ketika seluruh umat manusia sama rentannya, jadi ironi tak berperikemanusiaan ketika COVID-19 sengaja dipolitisasi untuk melemahkan pihak lain atau malah jadi bahan candaan bernuansa rasisme.

Meski sangat terbatas dalam merepresentasikan realita (apalagi Tiongkok sangat besar dan beragam), foto-foto ini menjadi memori penting yang kelak akan saya perlihatkan dan ceritakan pula pada anak-cucu sebagai pengingat tentang betapa rapuhnya kehidupan manusia di muka bumi ini.

Para elit boleh bertempur satu sama lain soal batas negara, perang dagang, dan aneka wujud politisasi lainnya. Namun sekali virus mematikan dengan daya sebar tinggi mencuat, ketakutan menyebar lebih cepat daripada penyebaran virus itu sendiri. Dunia pun dipaksa duduk bersama memikirkan solusinya. Dengan demikian, saya berharap mereka bisa menjadi individu yang selalu mengedepankan empati dan nurani di atas segala kepentingan semu yang menihilkan kemanusiaan.

Belakangan, saya pun sadar bahwa respons pemerintah dalam menghadapi epidemi semacam COVID-19 sangat krusial menentukan hidup-mati warganya. Meski awalnya kecolongan, pemerintah Tiongkok dan segenap warganya bergerak sangat cekatan mencegah virus ini memakan lebih banyak korban. Pemeriksaan amat ketat ke mana pun melangkah dan keseriusan warga menerapkan “jaga jarak” yang saya saksikan langsung, menjadi salah satu kunci kecepatan Tiongkok melandaikan kasus.

Ketika kembali ke tanah air pada 4 Februari 2020, saya menyaksikan pemeriksaan bandara yang tidak ketat. Saya pun kaget bukan kepalang mendengar pernyataan awal kepala negara dan para pejabat yang terkesan sangat meremehkan. Kasus COVID-19 pertama akhirnya diumumkan sebulan kemudian. Beberapa hari lalu, kampus mengontak, menanyakan kondisi kesehatan masing-masing siswa asing, disertai larangan keras untuk kembali ke Tiongkok sebelum pengumuman lebih lanjut.

* * *

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili Arkademy sebagai kolektif.

Sylvie Tanaga
Latest posts by Sylvie Tanaga (see all)

No Comments

Leave a Reply