Publik, Meme dan Fotografi

Sadar atau tidak, meme telah hidup dan berkembang di dalam praktik berinternet kita hari ini. Hampir setiap hari saya, atau mungkin sebagian besar dari kita bahkan, begitu mudahnya menjumpai meme bersliweren di jagat maya yang efemeral ini, entah itu di Instagram, Twitter maupun di Facebook. Terutama pada akun-akun shitposting, sebutan bagi akun penyebar meme.

Rasa-rasanya, perjumpaan kita yang begitu banal dengan meme membuat perhatian kita luput terhadap elemen yang saya kira dominan sebagai penyokong strukturnya: foto. Ya, sebagai salah satu manifestasi kultur visual di internet, meme tidak dapat dilepaskan dari foto yang menyusunnya. Lalu, sejenak kemudian saya merenungkan: “mengapa kita jarang sekali—atau bahkan tidak pernah(?)—membicarakan meme terutama dalam kaitannya dengan fotografi? Hal ini kemudian membawa saya pada pertanyaan lanjutan seperti: bagaimana fotografi beroperasi dalam meme? bagaimana publik membaca meme? Dan yang terutama apa konsekuensi dari kehadiran meme di publik? Melalui tulisan pendek ini saya bermaksud memperbincangkan kaitan meme dan fotografi dengan menelusurinya dalam praktik keseharian di masyarakat saat ini.

Beroperasinya Foto dalam Meme

Fotografi lazimnya telah menjadi sebentuk praktik vernacular (sehari-hari) di masyarakat. Sebab, sangat mudah rasanya di era sekarang untuk foto diproduksi dan diperoleh, melalui gawai yang kita punya, misalnya. Dalam kaitannya dengan meme, foto umum digunakan sebagai elemen penyokong di dalamnya. Tak jarang foto bahkan mendominasi di dalam strukturnya, sehingga saya menyebut meme ini dengan istilah meme visual.  Bahwasannya belum ada definisi pasti tentang apa itu yang dimaksud dengan meme hingga saat ini. Sebab, begitu banyak ragam bentuk dan variasinya yang tersebar di internet. Saya ingin mengambil salah satu contohnya dengan meme starter pack yang kerapkali saya jumpai di Instagram.

Dari kedua meme dapat dlihat bahwa kumpulan foto yang tersusun di dalamnya bukannya tidak bermakna sama sekali. Kita tahu bahwa meme ini hendak membangun gambaran mengenai realitas pengguna analog dan fresh gradute melalui kepingan-kepingan foto yang relevan dalam mencirikan keduanya. Artinya, meme menghadirkan sebuah realitas dengan menggunakan foto-foto yang berserakan menjadi terhubung antara satu dengan lainnya. Dalam dunia fotografi, pembingkaian yang dipakai oleh meme starter pack ini umumnya dikenal sebagai teknik kolase foto. Pembingkaian ini tentu membutuhkan pengetahuan sang kreator atas realitas yang dialaminya.

Di dalam meme, foto seringkali hadir bukan sebagai representasi obyektif laiknya yang disyaratkan dalam fotografi ‘serius’ (seperti di aliran fotografi dokumenter dan jurnalistik). Meme visual justru mencerabut realitas atau kenyataan obyekitf dalam foto dengan meletakkan konteks lainnya, untuk kemudian digunakan dalam memunculkan realitas lain yang dikehendaki sang kreator meme. Kecendrungannya, sebuah foto didudukkan sebagai buah ekspresi sang kreator dalam mendorong pengulangan lebih lanjut dari konteks yang melekat dan dilekatkan padanya. Meme sehingga dibagikan karena orang-orang ingin mendapat respon atau reaksi/tanggapan dalam menceritakan dan menyebarkan cerita yang diletakkan dalam meme tersebut. Dengan kata lain, foto dalam kaitannya dengan meme selalu bergantung pada konteks di mana ia dilekatkan oleh si pembuatnya.

Pembacaan Publik atas Meme Visual

Tidak dapat terelakkan bahwa meme merupakan kultur dari ekologi media baru yang mewarnai ruang percakapan dan diskusi publik hari-hari ini, baik dalam konteks global maupun lokal (Denisova, 2019). Meme, sebagai bahasa umum di internet, merupakan produk budaya partisipatif dan katarsis bagi berlangsungnya diskursus publik; keterhubungan dan penyebaran ide-ide. Meme membawa fungsi sosial di mana masyarakat dapat berdiskusi dan berdialog, dan meme sekaligus menjadi ruang negosiasi mengenai nilai-nilai, makna, dan norma secara kolektif (Gal, Shifman, & Kampf, 2016). Meme dengan demikian telah menjadi medium ekspresi, hiburan, sekaligus perdebatan mengenai isu sosial dan politik bagi publik.

Perdebatan dan ekspressi mengenai isu sosial dan politik di publik biasanya terjadi dalam momen-momen tertentu. Yang paling umum adalah ketika peristiwa pergantian rezim pemerintahan seperti pemilihan umum presiden. Mari saya ingatkan kembali dengan beberapa meme seputar pemilu 2019 lalu yang bertebaran di internet.

Meme ini muncul di Twitter sebagai reaksi sekaligus sentilan publik terhadap proses pencoblosan surat suara yang inefisien. Meski dihadirkan dengan gaya penyampaian yang lucu dan jenaka, tidak semerta-merta menghilangkan esensi dan muatan kritik yang ingin diutarakan. Realitas yang terpahami bersama oleh publik terhadap salah satu momen pemilu itu terwakilkan dengan baik melalui meme di atas.

Menyinggung pada persoalan teknis, meme tersebut hadir dengan wujud yang dikenal sebagai pola diptik yaitu teknik penyandingan dua foto yang tidak berkaitan menjadi terhubung satu sama lain. Lazimnya prinsip ini dipakai dalam proses penyuntingan di buku foto. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa masyarakat hari ini memakai teknis-teknis fotografi tersebut dalam praktik keseharian berinternet secara banal. Ini menandakan bahwa publik mampu melakukan ekplorasi teknis dengan segala keterbatasan yang ada di internet. Sebelumnya, selama ini saya memerhatikan hanya kalangan fotografer dan para pembuat buku foto yang akrab dengannya. Sebab, pengetahuan seputar teknis memang cenderung diperbincangkan secara eksklusif melalui forum-forum tertentu, misalnya dalam workshop fotografi berbayar.

Mengingat banyaknya orang yang bisa membaca dan menggunakan meme, disadari atau tidak, ini sebenarnya menjadi penanda atas kemelekan publik terhadap medium visual itu sendiri. Meskipun asumsi ini mungkin terdengar terlalu dini dan superfisial, berangkat dari meme di atas, saya menilai publik justru mampu menafsirkan bahkan turut serta secara aktif dalam menghadirkan realitas melalui foto-foto yang direproduksi menjadi meme visual. Jika literasi visual menuntut pengetahuan dan wawasan yang luas dari ragam aspek (sosial, politik, historis, dan budaya) melampaui dari foto itu sendiri, setidaknya publik telah menunjukkan itu melalui meme visual. Sebab, bagaimana bisa sebuah meme bisa begitu relevan, kontekstual dan bahkan memiliki daya kritis jika publik tidak memiliki kapasitas pengetahuan terhadapnya?

Lebih jauh lagi, meme itu sendiri rasanya perlu dilihat sebagai sebuah pengejawantahan hubungan sosial karena meme bersikulasi dan memiliki relasi dengan para subjek yang terlibat di dalamnya. Dalam kenyataannya kita kerapkali menemukan bahwa meme tidak akan hidup dan terus-menerus berkembang tanpa adanya partisipasi publik. Seperti yang tergambar di meme di atas. Maka, meme dapat kita sebut sebagai objek dari interaksi sosial di masyarakat. Perlu diingat juga bahwa sirkulasi meme penting karena menjadi arena penciptaan ruang publik yang mana imaji (atau diskursus) publik dihadirkan dan didiskusikan oleh masyarakatnya secara kritis. Praktik sirkulasi ini menghadirkan kembali fungsi foto sebagai barang publik, bukan semata-semata menjadi komoditi yang sifatnya komersil dan eksklusif.

Akan tetapi kehadiran meme pun pada dasarnya tidak lepas begitu saja dari problem etis yang mengikutinya. Persoalan copyright atau hak cipta seperti perizinan dan penyantuman sumber/kredit foto seringkali terabaikan dalam praktiknya. Tentu saja ini menjadi krusial, sebab pengabaian ini menunjukkan masih rendahnya apresiasi masyarakat secara luas terhadap proses pengkaryaan dan pengakuan terhadap rekam jejak karya terakhir. Foto yang direproduksi menjadi meme visual kemudian menjadi ahistoris sebab sulit melacak kembali siapa pengkarya aslinya.

Namun, cukup sulit rasanya menilai dan menyatakan ini sebagai sesuatu yang benar-salah secara oposisi biner karena apa yang dilakukan para pembuat meme bukan berada dalam lingkup fotografi dokumenter dan jurnalistik. Terdapat kaedah-kaedah baku yang menjadi pijakan bagi fotografer di aliran ini dalam proses pengkaryaannya. Sementara itu, tidak demikian pada pembuat meme. Tidak ada aturan dan kaedah saklek yang berlaku di dalam pengkaryaan meme, sebab permasalahan yang melingkupinya berada di ranah moral semata. Bahwa hal ini tetap menjadi persoalan, tentu saja saya setuju. Tapi, yang perlu diingat, moral bukanlah hukum formal karena ia lebih menyangkut pada dimensi nilai serta norma yang dijunjung masyarakatnya secara sosial.

Kendati demikian, kita tetap perlu mengakui bahwasannya meme hadir mengobrak-abrik dunia fotografi kita hari ini. Sebab, Internet sebagai ruang publik kita begitu sesak dijejali arus meme yang diproduksi dan direproduksi oleh masyarakatnya. Foto yang digunakan kembali menjadi meme pun kerapkali punya daya kritis oleh karena relevan dan kontekstual dengan situasi sosial dan politik yang terjadi di masyarakat.

Sebagai penutup, melalui tulisan ini saya tidak bertujuan menempatkan meme sebagai medium yang lebih baik dari fotografi. Tetapi saya hendak mengajak kita untuk mempertimbangkan kehadiran serta potensinya sebagai salah satu bahasa penyampaian alternatif yang kritis, terutama pada aspek presentasi dan bagaimana ia dihidupkan di publik hari ini. Bagi saya, meme justru mampu mendudukkan foto pada aspek yang paling penting dari dirinya: ia bisa mencerminkan, dan memberi cerminan, atas realitas; memanfaatkan foto sebagai medium, bukan untuk menjadi tujuan itu sendiri.

* * *

Referensi

Denisova, A. (2019). Internet, Memes and Society: Social, Cultural, and Political Context. New York: Routledge.

Gal, Shifman, & Kampf. (2016). It Gets Better: Internet Memes and The Construction of Collective Identity. New Media & Society, Vol 18 (8): 1698-1714.

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili Arkademy sebagai kolektif.

Latest posts by Galang Anugrah (see all)

No Comments

Leave a Reply