Social Photo: Race

‘A photograph is just a beginning’

A photograph is just a beginning. Kalimat ini terus terngiang di kepala saya setelah beberapa waktu lalu saya membacanya di salah satu Instastories Teju Cole, fotografer dan penulis yang teramat sangat saya kagumi karya-karyanya. Kalimat ini mungkin berkesan bagi saya, sebab kalimat ini begitu merangkum hubungan baru saya dengan fotografi yang saya temukan sekitar empat tahun ke belakang. Setelah mengalami kebuntuan atau mungkin bisa dibilang patah hati dengan fotografi (dalam konteks sebagai fotografer), mendalami bidang ilmu antropologi khususnya antropologi visual dan metode visual dalam riset antropologi ternyata memberi kacamata baru bagi saya dalam melihat fotografi. Perlahan saya kehilangan ketertarikan untuk melihat foto sebagai tujuan dari praktif fotografi itu sendiri. Kini, bagi saya, foto adalah sebuah awal yang mungkin tidak pernah berakhir. Hal ini membuat saya tidak lagi tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Kamera atau filter apa yang harus dipakai?”, “Apakah foto ini bagus?” atau “Bagaimana caranya membuat foto yang indah?”. Pertanyaan-pertanyaan saya saat ini lebih berputar di sekitar pertanyaan-pertanyaan seperti: “Mengapa foto ini berarti bagi saya?” “Hal apa yang membuat saya melihat dan/atau tidak bisa melihat akibat sebuah foto?” hingga ke pertanyaan besar seperti, “Bagaimana peran fotografi di dan untuk masyarakat hari ini?”.

Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan ini, saya tergerak untuk belajar dan mengetahui lebih dalam lagi tentang aspek sosial dari fotografi. Sisi sosial dari fotografi yang ingin saya pelajari sebenarnya bukan dalam tataran konsep, teori ataupun filsafat. Saya justru ingin menelusuri aspek sosial dimulai dari aspek terkecil yaitu yang personal, keseharian, atau sering disebut vernakuler, hingga aspek-aspek yang pada akhirnya terikat dengan kejadian atau fenomena yang memiliki nilai sosial, simbolis dan politis di masyarakat. Penelusuran ini memang terinspirasi dari pikiran yang digawangi sosiolog C. Wright Mills yang saya kontekstualisasi lagi menjadi sebuah rangkaian pikiran: The personal is social. The social is political. Therefore the personal is political. Singkatnya, jika ada yang ingin saya tekankan dari tulisan singkat ini adalah sesederhana bahwa pembacaan fotografi as social akan menunjukkan bahwa fotografi tidak hanya menyoal estetika, namun juga adalah bentuk representasi dari banyak hal yang ada dan tidak ada di masyarakat. Sama seperti bentuk kesenian lainnya, agar fotografi bisa berkembang diperlukan keterlibatan dan keterbukaan terhadap pembacaan, pengkajian dan analisis lintas-disiplin.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di atas, dan mempelajari lebih dalam aspek sosial dari fotografi, saya ingin berkontribusi kecil di rubrik WICARA dalam bentuk tulisan rutin bertajuk Social Photo. Tajuk yang saya pilih di sini sebenarnya tidak bersifat definitif dan terbuka terhadap interpretasi yang lebih luwes tidak merujuk sepenuhnya pada definisi social photography a la Nathan Jurgenson yang menekankan pada teknologi dan interaksi di ruang daring, dan mendefinisikan perbedaan social photo dengan non-social photo sebagai “…the degree to which its existence as a stand-alone media object is subordinate to its existence as a unit of communication.” Di dalam Social Photo, saya akan mengajak beberapa kontributor untuk merespons sebuah kata dengan sebuah karya foto (tunggal maupun cerita), dan membagikan pengalaman mereka dalam memaknai dan membaca karya tersebut. Pendekatan ini saya pilih untuk belajar dari pengalaman-pengalaman fotografi dalam keseharian  dan sekaligus menciptakan ruang dialog untuk mengetahui sejauh apa kita bisa membongkar sebuah kata/istilah serta relasinya dengan visual-visual terkait yang sudah dinormalisasi di masyarakat hari ini? Dengan adanya ruang untuk bertukar perspektif seperti ini, mungkin kita tidak akan selalu berkata “Tapi foto itu subyektif sih” tanpa benar-benar memahami mengapa foto itu subyektif? Harapannya, Social Photo bisa memberi kita sedikit pengetahuan untuk memahami mengapa sebuah karya foto itu subyektif baik dalam proses produksi maupun konsumsi? Apa yang membuat pembacaan atau pemaknaan foto begitu subyektif, dan apa yang membedakan makna foto satu dan lainnya dalam hidup seseorang? Selain itu, saya juga berharap bentuk kontribusi artikel Social Photo akan rutin, tapi tidak serutin itu juga (bergantung pada mood dan jumlah penolakan dari kontributor lainnya haha, intinya santai yang serius).

Di edisi pertama ini, saya meminta empat kontributor dengan latar belakang yang berbeda-beda untuk berbagi karya foto yang mengubah perspektif mereka tentang ‘ras’. Menyaksikan tagar Black Lives Matter dan Papuan Lives Matter beberapa waktu lalu ramai tersebar di media sosial dengan fotografi sebagai salah satu medium pengantarnya, dan juga bagaimana dengan cepatnya pemberitaan dan hype ini meredup di media sosial, saya jadi semakin tertarik sedalam atau sepermukaan apa sebenarnya peran fotografi dalam menginformasikan, mengubah atau mereproduksi pengetahuan kita terkait ‘ras’ (sebuah istilah yang sebenarnya sudah problematis secara definisi terutama pembacaan ras dengan perspektif biologis ketimbang sebagai konstruksi sosial)? Apa yang bisa kita ketahui lebih dari pengalaman fotografi kita yang melampaui pengalaman estetika?

Dari Alberth Yomo, saya belajar bagaimana dari sebuah foto, pembahasan tentang ‘ras’ justru menjadi irelevan sebab yang utama adalah relasi yang terbentuk antar subyek di dalam foto maupun yang membaca foto tersebut. Alberth mengangkat sisi afektif dari fotografi, bagaimana foto hadir menjembatani antara peristiwa, memori dan rasa. Juga bagaimana media sosial seperti Facebook menjadi ruang hidup bersama untuk sebuah komunitas, di mana foto menempati peran-peran sosialnya sendiri di sana. Sedangkan Ester Umbu Tara, mengingatkan saya kembali tentang peran fotografi sebagai catatan perjalanan yang sarat dengan pertemuan dan perenungan tentang identitas, tentang kebebasan, tentang ketidakadilan, tentang perlawanan, tentang emosi-emosi yang tidak bisa dibahasakan dengan kata-kata, dan bagaimana kita menempatkan diri setelah mengalaminya.

Membicarakan ketertindasan dan perlawanan, sejauh apa fotografi sebenarnya bisa jadi alat advokasi yang efektif? Puri Kencana Putri membagikan pengalamannya bagaimana sebuah rangkaian foto tentang Papua dapat membuka tabir penindasan dan isu rasialisme struktural, sekaligus mendekatkan masyarakat dengan isu-isu kompleks dengan memberi wajah pada ketertindasan itu. Namun, mungkin tidak semua permasalahan yang mengakar pada rasialisme mesti disampaikan dengan visual-visual yang eksplisit. Untuk Vembri Waluyas, perjalanan kesadaran kritisnya justru terpantik oleh sebuah foto rak buku di perpustakaan kota (yang ia baca sebagai metafor untuk represi negara atas akses pada pengetahuan) yang meninggalkan impresi yang begitu kuat dalam dirinya. Siapa sangka sebuah foto, dan impresi yang dihasilkannya dapat menggugah rasa, serta turut berperan dalam mempertanyakan, menggenapkan dan membangun pemahaman Vembri, hingga membawanya menjadi fotografer dokumenter yang berfokus pada isu keadilan sosial dan keadilan ekologis di Papua.

Mungkin memang ada benarnya kutipan yang saya temukan di Instastory Teju Cole beberapa waktu lalu itu: a photograph is indeed just the beginning.

Alberth Yomo, aktivis lingkungan di Bentara Papua, Manokwari, Papua

Foto: Herry Hikinda. April, 2018. Kampung Ayapo, Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua

Pada pertengahan April 2018, saya mendapat kiriman beberapa foto dari keluarga di kampung. Foto-foto tentang suasana perpisahan antara Pendeta dengan warga Gereja di Kampung Ayapo, Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Nama Pendeta itu Demus Wamese, asal Maluku. Ia telah bertugas kurang lebih 2 Tahun, melayani warga Jemaat di Gereja Kristen Injili (GKI) Elim Ayapo.

Melihat foto-foto perpisahan itu, saya ikut terharu dan menangis. Saya bisa merasakan apa yang dirasakan keluarga saya di kampung. Foto-foto perpisahan itu kemudian saya upload di Facebook.

Foto-foto itu menggambarkan kesedihan warga Kampung Ayap saat perpisahan dengan seorang Pendeta; ada ibu yang menangis, ada seorang bapak yang memeluk dan menangis, semua orang terlihat bersedih dan mencucurkan air mata.

Foto-foto ini tidak dimaksudkan untuk membahas soal ras, karena memang persoalan ras tak akan pernah hilang dari muka bumi. Hanya saja, foto ini bisa menjelaskan bahwa orang di kampung saya tidak memandang warna kulit dan jenis rambut seseorang, tapi mereka melihat karakter pribadi dan apa yang diperbuat pribadi itu bagi mereka. 

Pendeta Demus Wamese selama dua tahun melakukan pelayanan penginjilan di Jemaat GKI Elim Ayapo, dikenal sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat. Ia tak kenal waktu dan tak lelah melakukan pelayanan. Tak henti-hentinya dia berkhotbah dari mimbar untuk mengingatkan Jemaatnya tentang hal kasih. Ia juga tak pernah bosan mengingatkan para pemuda di kampung itu untuk menjauhkan diri dari minuman keras.

Nasehatnya dari mimbar Gereja ternyata tidak diterima oleh sebagian orang kampung. Dirinya kerap mendapat intimidasi dan tindak kekerasan akibat khotbah-khotbahnya itu. Tapi apa yang dilakukan? Ia mengasihi orang-orang yang melakukan intimidasi. Ia bertamu ke rumah mereka, ia tak segan meminta maaf, walaupun ia tak salah.

Pintu rumahnya tak pernah tertutup. Ia juga dikenal sebagai Pendeta yang jarang berada di rumah, jarang makan di rumahnya sendiri, karena hampir setiap hari ia diundang warga untuk makan. Menurut warga, Pendeta Demus pribadi yang bisa bergaul dengan siapa saja, bukan Pendeta yang eksklusif. Dirinya tidak melihat warna kulit dan jenis rambut warga di Kampung Ayapo yang berbeda dari dirinya. 

Dari cerita di atas, saya ingin mengatakan, bahwa perbedaan ras adalah suatu kenyataan. Tidak ada orang yang tahu kalau ia akan dilahirkan sebagai manusia yang berkulit hitam dan rambut keriting. Itu adalah takdir Tuhan. Namun keegoisan dan kesombongan kelompok manusia tertentu, menyebabkan perbedaan ras ini menjadi persoalan. 

Seharusnya perbedaan ras menjadi kekuatan untuk saling mengasihi dan membantu sesama manusia yang membutuhkan, bukan sebaliknya membuat kelompok Ras tertentu menjadi sombong dan egois.

Ester Umbu Tara, fotografer dan pengurus SkolMus, Kupang, NTT

Foto: Ester Umbu Tara. Selandia Baru.

“Suku Māori awalnya tidak mengenal kosakata kaya dan miskin.
Kosakata itu diperkenalkan bangsa penjajah.”

Saya masih ingat pernyataan ini ketika belajar tentang “Treaty of Waitangi” atau perjanjian Waitangi yang menurut saya adalah awal mula konflik, penyalahgunaan perjanjian oleh kaum penjajah yang membawa suku Maori dalam penindasan dan kehilangan hak-hak mereka atau tanah, air dan bahkan diri mereka sendiri.

Saya mengambil foto ini pada suatu event yang diselenggarakan oleh Suku Māori dalam memperingati ‘Matariki’ pada tahun 2018. Secara sederhananya Matariki adalah sebuah tradisi yang dilakukan suku Māori untuk mengingat nenek moyang mereka, orang-orang yang sudah meninggal namun juga merayakan kehidupan. Dalam event ini, mereka menari dan bernyanyi menggunakan bahasa Te Reo Māori yang tidak saya mengerti, namun tidak mengurangi keindahan dari apa yang saya lihat dan saya dengar. Namun keindahan yang saya nikmati saat itu hanyalah pertengahan sebuah perjalanan suku Māori untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai penduduk asli.

Apa yang bisa saya nikmati saat itu merupakan buah perjuangan panjang yang masih berlangsung hingga saat ini. Perjuangan memperebutkan hak atas hidup di atas tanah mereka sendiri. Bahkan saat ini, suku Māori masih berjuang melawan diskriminasi dan kesamaan hak dalam semua bidang.

Bagaimana foto tersebut berdampak padamu dan perspektifmu tentang ‘ras’?

Menyadari bahwa kita terlahir dari budaya yang berbeda dan memiliki keunikan sendiri adalah penting dan tidak bisa dipungkiri. Namun juga yang utama adalah untuk memahami dan menerima bahwa semua memiliki hak yang sama sebagai manusia dalam sebuah bangsa, desa ataupun lingkungan terkecil. ‘Label-label’ negatif yang disematkan pada orang dengan ras tertentu menurut saya terlahir dari sebuah konsep masyarakat yang menurut saya masih berpikiran ‘penjajah’,  Merendahkan martabat orang lain dan berpikiran bahwa mereka lebih superior.

Foto ini mengingatkan saya bahwa setiap suku dan ras memiliki keunikan mereka sendiri. Tidak ada yang boleh mengambil atau menghancurkan identitas mereka lalu mencoba menyeragamkan segala sesuatu. Memberi keleluasaan kepada orang lain untuk mempertahankan budaya mereka bisa menjadi kekuatan dari sebuah kehidupan multikultural. 

Menurutmu, bagaimana kekuatan foto dalam menceritakan fenomena sosial yang ada di masyarakat?

Foto adalah sebuah kekuatan visual yang kadang dapat memberi pesan lebih kuat daripada kata-kata. Sebuah foto dapat menjadi sebuah pendapat atau perspektif fotografer/pengambil fotonya dalam merespons sebuah situasi yang terjadi. Namun, sebuah foto juga dapat menjadi pendamai atau sebaliknya menimbulkan konflik. Hal ini karena tiap – tiap orang dapat menafsirkan sebuah foto menurut perspektif mereka yang mungkin berbeda dari fotografernya. Hanya dari sebuah foto, semua orang di dunia dapat menafsirkan apa yang sedang terjadi di seluruh dunia, menggerakkan hati tiap-tiap orang untuk masuk dalam emosi yang beragam. Entah senang, sedih, marah atau merasa tidak adil yang dapat mendorong pada sebuah perubahan sosial.

Puri Kencana Putri, peneliti dan aktivis HAM, Kuala Lumpur, Malaysia

Sumber: https://investigasi.tempo.co/papua/

Ini sebenarnya adalah sekumpulan koleksi foto yang dikumpulkan oleh delapan fotografer Majalah TEMPO pada satu proyek kolaborasi antara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dengan TEMPO di tahun 2016, yang akhirnya dituangkan melalui proyek narasi foto “Suara dari Timur: Papuaku Papuamu”. Saat itu saya terlibat sebagai salah tim dari KontraS yang ingin memetakan masalah mendasar, baik dari sisi sosial, politik, ekonomi, konflik, pelanggaran HAM dan multidimensi lainnya di Papua dan bersama tim lainnya berpikir bagaimana kita bisa memotret Papua dengan pendekatan berbeda; di luar diskusi publik, debat politik dan hal hal konvensional lainnya. TEMPO menjadi mitra strategis yang dirasa bisa membantukan menarasikan itu secara visual. Proyek kolaborasi ini berjalan kurang selama satu tahun. Melibatkan banyak komponen adat dan sosial di Papua, mulai dari kelompok gereja, kelompok muda, masyarakat adat, media lokal. Saat itu kami datang berkunjung ke 10 kota di Provinsi Papua dan Papua Barat: Jayapura, Wamena, Fak Fak Biak, Sorong, Nabire, Merauke, Yahukimo, Boven Digoel, Timika – untuk mengumpulkan narasi signifikan, bagaimana kita mulai mengenal kembali Papua dari kacamata yang lebih intim, kehidupan sehari-hari, dan tentu melepaskan seluruh asumsi agar bisa mendengarkan dan menangkap denyut kehidupan dan perjuangan mereka. 

Koleksi foto ini sebenarnya dibagi menjadi beberapa babak. Saat itu, saya ikut di dalam tim inti kurasi mengingat ada lebih dari 3000 foto yang kami kumpulkan selama proses tersebut; memilih 37 foto yang memiliki visualisasi yang kuat untuk memotret Papua hari ini. Ada banyak cerita, fakta, realita, harapan, termasuk rasa cemas dan kekecewaan yang kami lihat di lapangan. Tapi tim dan saya berusaha membantu audiens untuk membongkar kembali hal hal apa saja yang sebenarnya kita ketahui tentang Papua persepsi, asumsi, praduga, hingga fakta dengan hal hal yang tidak kami korting kepada audiens. Pembabakan ini secara general dapat dibagi menjadi: (1) Papua dan keindahan alamnya, (2) Hidup sehari hari di Papua, (3) Cara bertahan hidup masyarakat adat Papua, (4) Papua dan tekanan laju globalisasi, (5) Papua dan migrasi sosial, (6) Papua dan ketidakadilan sosial-HAM, (7) Papua dan narasi nasionalisme, (8) Papua dan koeksistensi alam, (9) Papua dan pembangunan, (1) Masa depan dan harapan di Papua. 10 babak ini secara garis besar juga ingin mengamplifikasi proses mendengar dan dialog yang dilakukan di antara ratusan warga Papua yang memiliki derajat pengalaman berbeda, dan semuanya valid untuk didengar dan diamplifikasikan secara setara. 

Body of work yang coba ditangkap dan dihadirkan dari koleksi foto ini sebenarnya cukup luas. Meliputi obyek alam dan (sisa sisa) bangunan, interaksi manusia, narasi individu dan memorinya. Hal hal tersebut saling terkait, dan amat dihormati sebagai nilai-nilai yang dirawat di Papua; bagaimana orang orang Papua memiliki rasa hormat yang tinggi kepada alam dan sekitar. Mereka juga memiliki solidaritas yang kuat satu sama lain. Toleransi bukanlah hal yang baru muncul di sana (lihat cerita Fak Fak), dan tentu saja tubuh – memori membantu mereka untuk bicara bahwa keadilan dan kesetaraan menjadi satu perkara yang masih mereka perjuangkan sampai sekarang. 

Sebagaimana yang saya katakan di awal, delapan fotografer melibatkan nama-nama fotografer lapangan TEMPO seperti Rully Kesuma, Subekti, Tony Hartawan, Dhemas Revianto, Iqbal Ichsan, Dian Triyuli, Frannoto, Pius Erlangga. Delapan orang fotografer ini memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan orang orang adat dan asli Papua di wilayah wilayah yang menurut saya mungkin cukup sulit untuk diakses, diakibatkan kendala infrasruktur dan keamanan yang super ketat, beberapa foto diambil di dalam tempat penambangan emas Freeport. 

Bagaimana foto tersebut berdampak padamu dan perspektifmu tentang ‘ras’?

Ke-37 foto ini sebenarnya sangat kuat ingin menyampaikan bahwa Papua bukan sekadar obyek wilayah eksploitasi sumber daya alam dan penyumbang terbesar agenda pembangunan Indonesia; termasuk unsur sentimen keamanannya; namun ke-37 foto ini juga ingin berkata kata bahwa ada persoalan mendasar yang tidak pernah kita bicarakan di Indonesia secara manusiawi. Isu HAM menjadi isu sentral dari ke-37 foto ini. Meskipun konteks sosial terus berubah, seiring modernisasi di beberapa sudut Papua; namun martabat dan kemanusiaan saya pikir tidak hilang dari ribuan potret yang bahkan KontraS dan TEMPO tangkap di lapangan, termasuk percakapan dan dialog yang muncul secara otentik di sana. Ras yang menjadi penanda fisik dan kebudayaan yang berbeda sudah sejatinya tidak boleh menjadi penghalang atas pemenuhan hal hal mendasar yang dibutuhkan oleh mereka. Sebagaimana kita selalu melihat dengan mata dan kepala kita untuk banyak obyek di luar sana, kitapun harus bisa melihat dengan mata, kepala, dan hati kita untuk setiap hal yang ingin disampaikan oleh orang orang Papua. Proyek kolaborasi ini secara personal banyak mengajak saya kepada hal hal yang tidak saya ketahui di Papua. Melihat, mendengar dan berbicara dengan mereka secara intens sangat membantu saya untuk melihat Papua secara lebih adil. 

Menurutmu, bagaimana kekuatan foto dalam menceritakan fenomena sosial yang ada di masyarakat?

Foto dan visual dapat membantu banyak hal yang tidak bisa diungkapkan secara verbal, karena beragam faktor: keamanan, ketidakpedulian, kecemasan, ketakutan, dan pembungkaman. Foto memiliki kekuatan lebih yang tidak sekadar menjadi alat bantu, penunjang maupun pendorong perubahan tapi foto bisa berperan sebagai alat komunikasi efektif untuk mendekatkan realita yang jamak ini kepada kelompok sosial yang berbeda. Saya percaya bahwa zaman yang berubah dengan segala hiruk pikuknya akan sangat terbantu dengan kehadiran foto yang menangkap memori secara visual, yang tentu saja bisa kita pakai sebagai medium pembelajaran dan pengingat sudah sampai sejauh mana spesies manusia berubah, bertransformasi secara kolektif menuju nilai-nilai yang ingin kita rawat bersama kebebasan yang melampaui kekerasan. 

Vembri Waluyas, fotografer dokumenter, Papua

Foto: Dwi Oblo

 

Ada satu foto yang sampai hari ini masih mengusik sa pu pikiran terkait perspektif personal. Kalau tidak keliru ingat, sa dua kali melihat foto itu di tahun 2000. Sa masih ingat foto itu sampai sekarang. Foto itu dibuat mas Dwi Oblo, terkait proyek riset tentang minat membaca.

Foto tersebut diambil di lorong di antara rak-rak buku di perpustakaan kota Yogyakarta. Ada bilik dengan ukuran kurang dari 2 x 2 meter, dindingnya dari kawat dan kayu. Kita bisa melihat ruangan dalam bilik. Isinya mirip dengan bagian lain perpustakaan, rak dengan tumpukan buku. Satu-satunya pintu di bilik itu, dirantai dan digembok. Tumpukan buku di dalam bilik, adalah buku-buku yang dilarang.

Saat itu adalah tahun-tahun awal sa kuliah. Dari sejumlah teman yang lebih duluan kuliah, saya mengenal sejumlah bacaan yang dilarang oleh rezim Orde Baru. Seperti novel-novel karangan Pramoedya Ananta Toer, buku-buku Karl Marx dan yang konon berisi Marxisme dan Komunisme.

Sa sempat mendengar cerita tentang sejumlah aktivis mahasiswa di sejumlah kota di Jawa, ditangkap dan dipenjarakan karena sejumlah buku tersebut, di akhir 1980an dan awal 1990an.

Sebelum melihat foto bilik buku terlarang itu, sa sudah mulai membacai sejumlah buku yang dilarang. Saat itu buku-buku tersebut sa dapat dalam bentuk fotokopian. Jamak orang tahu, masa itu cara memperbanyak buku-buku yang sudah tidak diterbitkan atau buku import yang harganya mahal, adalah dengan memfotokopi dan menjilid seperti layaknya buku. Tak heran saat melihat rak-rak buku di kamar mahasiswa di masa itu, kebanyakan berisi buku fotokopian.

Saat pertama melihat foto mas Oblo, muncul pertanyaan-pertanyaan: mengapa negara perlu melarang pengetahuan tertentu? Pengetahuan dan nalar apa yang dimaui, sekaligus ditolak oleh negara?

Tepat di perpustakaan, tempat dimana pengetahuan bisa diakses leluasa, buku-buku dilarang itu dipertunjukkan. Mengapa negara atau otoritas kuasa lain merasa perlu menunjukkan pengetahuan dan nalar yang dilarang dan tidak sah? Kita tahu, ada sejumlah otoritas kekuasaan selain negara, yang memberlakukan pelarangan terkait pengetahuan.

Adakah saya menjadi orang yang berbahaya bagi negara selepas membacai buku-buku Pramoedya Ananta Toer, terutama Tetralogi Pulau Buru? Apakah lalu saya menjadi perusuh?

Bagaimana jika larangan itu justru menghela, mengatur jarak dan menjauhkan kita dari perspektif agar bisa adil terhadap dunia dan lingkungan sekitar?

Kisah Tetralogi Pulau Buru adalah kisah pemuda Indonesia di masa kolonial yang mempertanyakan tata kelola politik yang tidak adil, dan kemudian ia melawan semampunya, dengan cara sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya, meski ia tahu ia akan kalah.

19 tahun setelah saya tahu Tetralogi Pulau Buru itu dilarang, novel itu difilmkan. Betapa pengetahuan itu politis. Tidak ada masalah bahwa seseorang tahu atau tidak, tentang pengetahuan tertentu. Hanya ada saat dimana seseorang tahu pengetahuan tertentu, bisa membuatnya terlibat masalah dengan otoritas kekuasaan. Masalah tersebut bisa muncul sebab pengetahuan bisa membuat seseorang belajar dan memahami, apakah otoritas kekuasaan itu sewenang-wenang, seolah memberi perlindungan tapi mengambil keuntungan atau mengupayakan kemandirian dan kesejahteraan?

Bagaimana foto tersebut berdampak padamu dan perspektifmu tentang ‘ras’?

Foto itu memantik sejumlah pertanyaan-pertanyaan, seperti disebut terdahulu. Seolah sebuah penegasan, bisa juga pembingkaian dari sejumlah pengetahuan yang sudah sa punya sebelumnya, bahwa negara atau otoritas kekuasaan tertentu mempunyai agenda politik tertentu terkait dengan narasi pengetahuan yang membentuk imajinasi dan perspektif kolektif.

Salah satu contoh, semasa sa tumbuh di kampung pedalaman di Sumatera sana, saya punya teman Ari. Ia etnis Cina. Kami berteman sejak TK. Ari adalah satu-satunya teman laki-laki dari teman seangkatan beretnis Cina yang jumlahnya tak ada 10 orang. Yang lain adalah perempuan. Ari jarang dipanggil dengan nama oleh teman-teman lain, tapi dipanggil dengan sebutan etnis. Ada perlakuan kolektif yang berbeda terhadap Ari, terutama saat harus menanggungkan bersama kegiatan yang mengeluarkan uang.

Baru saat awal kuliah sa paham tentang kisah sejarah dan konstelasi politik yang membuat Ari dan etnis Cina mengalami diskriminasi dan kekerasan berulang. Relasi-relasi, anggapan, dan sikap keseharian yang nampaknya biasa dan normal ternyata dibentuk dan ditertibkan perlahan-lahan oleh nalar kekuasaan.

Pemahaman itu terjalin dari sejumlah pengetahuan yang sa dapat. Tak hanya soal etnis, tapi juga identitas lain, yang oleh otoritas kekuasaan sengaja diciptakan menjadi hantu-hantu untuk menjagai apa yang sering disebut narasi kebangsaan. Ada perkara PKI dan komunis di tahun 1965 yang bertahan hingga sekarang. Ada “petrus” (penembakan misterius) di awal tahun 1980an. Ada kelompok islam yang di pertengahan 1990an kerap disebut sebagai gerakan pengacau keamanan, dst.

Perjumpaan intens sa dengan Papua juga terjadi di masa-masa itu. Di masa sekolah menengah pertama, pernah dikenalkan perkara Papua dengan keberadaan tambang tembaga melalui pelajaran Geografi. Hal itu kemudian digugat dengan pengetahuan-pengetahuan yang kemudian sa dapat di masa kuliah. Ada kesengajaan dari otoritas kekuasaan untuk menegaskan sekaligus mengaburkan terkait perkara Papua.

Menurutmu, bagaimana kekuatan foto dalam menceritakan fenomena sosial yang ada di masyarakat? 

Khas dari foto adalah kemampuannya menjadi wadah bagi impresi. Impresi yang (di)hadir(kan) dari perasaan, pengalaman dan kisah tertentu dari sebuah fenomena sosial, memiliki potensi untuk mencipta keterjangkauan (akses) dan memantik perhatian terhadap fenomena itu.

Menatap foto itu sebaiknya dengan memejamkan mata, tentu saja setelah melihat fotonya. Impresi yang (di)hadir(kan) foto akan menggugah, mempertanyakan, menggenapi atau meragukan pengetahuan si penatap. Pemahaman terhadap fenomena sosial memerlukan impresi itu. Bukankah masa kini informasi sudah terlanjur membuat riuh dan kecenderungan bebal, teralami seolah wajar? 

***

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan para kontributor dan tidak mewakili Arkademy sebagai kolektif.

 

Rara Sekar
Latest posts by Rara Sekar (see all)

No Comments

Leave a Reply