Merespons tulisan SkolMus tentang pendidikan fotografi, pada 13 Juni 2020, Ben Laksana, Rara Sekar dan Kurniadi Widodo (Wid) dari Arkademy mewawancarai Armin Septiexan (Destro), Frengki Lollo dan Ester Elisabeth Umbu Tara (Ete) dari SkolMus untuk berdiskusi lebih lanjut via Whatsapp Group Call. SkolMus, Sekolah Multimedia untuk Semua, adalah sebuah komunitas dan wirausaha sosial dengan visi mendorong perubahan lewat multimedia berbasis di Kupang, NTT. Kami berbincang banyak tentang kegiatan SkolMus di masa pandemi salah satunya proyek pengarsipan kota yang sedang mereka garap, peran fotografi untuk perubahan sosial, dan bagaimana SkolMus terus merawat keberlanjutannya sebagai komunitas dan inisiatif pendidikan fotografi di Kupang.
Rara
Mungkin bisa ceritain, hari ini atau beberapa minggu ini, SkolMus lagi sibuk ngapain?
Destro
Kalau sekarang SkolMus memang lagi persiapan untuk yang bulan Oktober, yang pameran-pameran arsip itu. Terus ada beberapa teman juga di dalam Skolmus yang persiapan untuk launching bukunya. Tapi belum ada kegiatan-kegiatan dalam jangka waktu dekat. Kayak kegiatan bulanan atau apa gitu belum ada. Lebih bersifat kegiatan jangka panjang yang pameran itu. Pameran bulan Oktober itu kan ada pameran arsip sama pameran angkatan 8.
Mas Wid
Untuk pameran yang arsip itu program perdana-kah? Atau sebelumnya udah pernah bikin? Mungkin bisa ceritain lebih banyak?
Destro
Kalau pameran arsip ini kegiatan perdana. Selama ini kan pamerannya cuma teman-teman fotografer. Jadi kita pengen kali ini pamerannya itu diikuti dengan warga juga. Setelah kami telusuri salah satu kontribusi warga itu lewat arsip. Jadi warga punya arsip foto atau dokumen, berkontribusi juga untuk jadi pameran.
Mas Wid
Itu gagasan awalnya kayak gimana? Kok kepikiran untuk buat pameran itu?
Destro
Jadi sebenernya gagasan awalnya itu karena kita merasa bahwa selama ini pameran itu sangat eksklusif di lingkaran SkolMus aja. Jadi dari keprihatinan kita bahwa kita harus bisa mengakses foto dan menyebarkan ke banyak warga juga, akhirnya kita berpikir juga bagaimana harus melibatkan mereka yang basic-nya bukan fotografer. Jadi bagaimana mereka bisa terlibat dengan menggunakan media-media yang mereka punya, misalnya kayak foto, dokumen, video, atau audio zaman dulu.
Mas Wid
Ada alasan spesifik nggak, kenapa tertariknya pengarsipan? Maksudnya, kalau misalnya tujuannya adalah partisipatif, sekarang kan sebetulnya fotografi sudah bisa diakses siapa pun. Dengan HP, nggak harus kamera yang mahal. Tapi kenapa secara spesifik memilih pengarsipan ketimbang menciptakan yang baru lewat kamera masing-masing?
Destro
Alasan yang lebih spesifik itu karena kita selama ini mencari sejarah itu sulit juga, dalam bentuk multimedia itu. Jadi ini salah satu cara melihat kembali masa lalu melalui media yang sudah pernah ada. Karena kalau kita mau lihat sejarah Kupang itu kita harus melihat pengarsipan zaman Belanda juga. Soalnya kan orang-orang dulu juga pernah ada yang mendokumentasikan foto tentang Kupang, walaupun dalam bentuk foto keluarga dan sebagainya. Foto tamasya, dan sebagainya.
Destro
Memang programnya kan merekam kota. Jadi sejarah itu sebenarnya salah satu perspektif karena merekam kota itu kita mengambil perspektif sejarah Kupang tempo dulu, Kupang sekarang, dan Kupang nanti. Jadi pertanyaan kita itu sebenarnya apa yang terjadi di kota? Jadi apa yang terjadi pada Kupang tempo dulu, Kupang yang sekarang, dan Kupang nanti…Pertanyaan kita, bagaimana kita bisa mendapatkan informasi atau literatur tentang kota Kupang. Kalau kita cari di Google itu, tentang kota Kupang itu hampir-hampir tidak ada. Jadi pemilihannya ya melalui arsip itu. Nah, dari arsip itu kita akan coba bangun narasi atau cerita-cerita mulai dari cerita-cerita keluarga atau cerita-cerita dari pemilik arsip itu. Kalau yang lebih spesifik, pertanyaan sederhana kayak apa yang sebenarnya terjadi di kota Kupang tahun 1998, atau kira-kira konteks sosial yang terjadi pada tahun-tahun tertentu semacam 1965 atau 1998 itu di Kupang seperti apa. Kayak gitu-gitu. Dan hubungannya kota Kupang yang dulu dengan kota Kupang yang sekarang, apakah kita melihat pengaruhnya seperti apa.
Rara
Berarti kan bisa dibilang sejarah itu kan perspektif, tadi kata Destro. Bisa dibilang sejarah adalah konstruksi. Ada pengetahuan yang dikonstruksi oleh mereka yang menang. Nah, dari temen-temen yang sedang mengarsip kota Kupang sejauh ini bersama warga, ada nggak sih narasi-narasi yang muncul di buku-buku sejarah atau sejarah Indonesia atau sejarah Kupang yang diketahui sebelumnya, yang berbeda dengan sejarah-sejarah keluarga atau personal yang ditemukan teman-teman lewat arsip yang temen-temen lagi kumpulin?
Destro
Kalau untuk sejauh ini memang kayak tadi yang dibilang peristiwa-peristiwa besar, masih belum banyak pintu atau informasi yang seperti itu. Tapi yang sekarang itu kayak beberapa gedung-gedung yang selama ini kita lewati, bahwa itu salah satu gedung yang cukup berpengaruh dalam sejarah kota Kupang.
Nah, itu yang hilang di generasi sekarang, informasi tentang itu. Atau ada berita, atau ada yang bilang tentang tugu HAM. Nah, tugu HAM itu juga narasinya berbeda dengan narasi yang kita dapat dari teman-teman yang ada di sini, atau teman-teman yang tahu tentang arsip itu. Jadi kita coba untuk mendapatkan narasi dari… bukan narasi yang mainstream.
Rara
Itu menarik banget. Kerja-kerja pengarsipan yang partisipatif itu penting sekali.
Ben
Iya, dan sebenarnya kalian juga kayak berusaha merebut kembali narasi-narasi tentang identitas kalian. Bahwa kalian-lah yang punya kuasa dalam membentuk itu ketimbang membiarkan orang lain yang membentuk itu untuk kalian. Itu menarik sekali.
Rara
Penasaran deh. Ete mungkin punya cerita juga, misalnya. Gimana sih warga melihat kegiatan ini? Seberapa antusias warga atau bagaimana sih keterlibatan warga sejauh ini?
Destro
Untuk saat ini kita sudah cukup mendapatkan banyak arsip karena keterlibatan dari warga juga. LSM dan arsip-arsip dari lembaga agama juga. Dari pemerintahan juga sudah memberikan akses untuk kita bisa mendapatkan arsip mereka. Perubahan-perubahan yang ada di kota Kupang, misalnya perubahan gedung-gedung bersejarah yang ada di kota Kupang. Terus ada juga kita menghubungi penulis untuk mencari tahu cerita-cerita yang ada di tahun-tahun tertentu.
Misalnya tahun 1965 dan sebagainya. Apa sih yang terjadi di kota Kupang? Dan bentuk-bentuk visualnya juga seperti apa? SkolMus pernah bekerja sama dengan LSM Jaringan Perempuan Indonesia Timut (JPIT) yang mengadvokasi isu-isu ’65. Jadi kita sudah cukup mendapatkan bahan tapi kita masih dalam pencarian juga untuk melengkapinya.
Ete
Kalau pameran ini sendiri memang sebagai penegasan bahwa Skolmus itu juga suatu komunitas yang juga bergerak untuk mendokumentasikan budaya. Melalui kegiatan ini, kita juga ingin menyampaikan kepada masyarakat tentang apa kerja kita, apa yang dapat SkolMus lakukan bagi warga, khususnya di kota Kupang. Memang kami berharap. Ini kan baru pilot project.
Jadi memang berharap bahwa dengan adanya pameran ini, kita akan bisa melihat nanti jauh lagi ke depannya. Bahwa bukan hanya kota saja, tapi konsepnya bisa dikembangkan misalnya untuk sejarah NTT. Jadi memang ini sebagai suatu pilot project yang kami berharap bisa diadaptasi, bukan hanya kami sebagai sebuah komunitas tapi juga pemerintah dan mungkin ada juga masyarakat yang akan melakukan hal yang sama –sehingga kita tidak akan lagi kesulitan untuk mendapatkan sumber cerita sejarah kota Kupang yang nantinya mungkin akan bisa berkembang untuk seluruh NTT.
Ete
Kayak gerakan kecil untuk mimpi yang besar.
Ben
Betul, betul banget. Penasaran aja apakah kalian terinspirasi oleh kegiatan serupa di tempat lain-kah, atau gimana? Gimana kalian bisa…. “kayaknya ini penting nih untuk kita melakukan pendekatan seperti ini.” Ini kan jujur aja, kita masih cukup jarang melihat ya pendekatan-pendekatan yang seperti ini. Bisa cerita sedikit nggak tentang itu?
Destro
Salah satu yang menginspirasi waktu itu di JIPFest (Jakarta International Photo Festival). Itu kan kita bertemu dengan Arif Furqan waktu ikut sesinya sama Wahyu Dian dari Bandung, Perpustakaan Fotografi Keliling. Membicarakan sejarah, membicarakan tentang arsip. Waktu itu kan ikut diskusi-diskusi. Nah, itu juga jadi salah satu trigger kami untuk…. “kayaknya ini bisa kita terapkan juga untuk di Kupang”. Maksudnya, turunan dari fotografi itu bisa kayak ada arsip, ada antropolog, gitu-gitu. Jadi tidak hanya mentok di fotografi dan hal-hal yang teknis-teknis .
Ben
Iya. Ini penting banget. Pengen sedikit nanggepin itu. Berarti kalian kan harus keluar dari Kupang dulu untuk mempelajari suatu hal yang baru. Kalian selama ini sebagai sebuah organisasi, tantangannya apa aja sih? Bisa dibilang kan selama ini kita membicarakan bagaimana fotografi itu dan sumber pengetahuan seringkali berpusat dari Jawa. Lebih lagi, dari Jakarta.
Kalian tantangannya apa aja sih untuk kesempatan-kesempatan mengembangkan diri dalam fotografi atau bahkan hal-hal diluar fotografi itu sendiri? Kesulitan nggak sih untuk mengakses informasi-informasi atau pengetahuan-pengetahuan baru dan lain sebagainya?
Ete
Jadi kalau saya sendiri memang belum pernah keluar untuk mengerjakan fotografi atau pameran-pameran gitu. Bukan curhat ya, hehehe..
Ben
Curhat aja nggak apa-apa….
Ete
Hahaha… Jadi bagi saya… Akhir-akhir ini karena lagi pandemi-pandemi kita jadi di-push untuk ada dalam satu situasi di mana kita kelas online, bertemu secara online, justru membuka kesempatan dari berbagai daerah sehingga bagi saya sih belajar bahwa ada hal-hal yang memang kondisinya sama di suatu daerah, ada yang kondisinya berbeda di suatu daerah.
Sehingga input-input yang masuk pun bisa menjadi suatu ide baru yang segar ataupun semakin memperkuat misi dan visi, bahwa kita berada di jalur yang tepat. Jadi memang akhirnya saling bertukar informasi, saling sharing, saling mengajar. Teman-teman di daerah yang lain menjadi suatu motivasi dan kekuatan sendiri untuk mengerjakan apa yang sedang kami lakukan.
Dengan sharing apa yang kami lakukan juga semakin memberikan kepercayaan diri bahwa apa yang kami lakukan itu sudah tepat. Kami sedang berada di jalur yang memang kami harapkan.
Mas Wid
Tapi aku tadi dengerin Ete, aku juga jadi sadar bagaimana SkolMus mungkin beberapa tahun terakhir ini mulai cukup sering kegiatan yang apa ya istilahnya…. berjejaring dengan teman-teman komunitas di Jawa. Atau walaupun tidak berkolaborasi tapi kayak misalnya tadi, yang kalian ceritakan soal pengarsipan, salah satu terinspirasi dari Furqan dan teman-teman.
Dengan begitu kan sebenarnya teman-teman di SkolMus juga membaca peta fotografi, komunitas di Indonesia gitu. Dari pengalamannya SkolMus, kita gini gini nih. Sementara di Yogya, Bandung, Jakarta, Malang, Padang, dan lain-lain, kayak gini gini gini. Mulai bisa memposisikan diri.
Pernah nggak mencoba untuk merefleksikan, misalnya, oh ternyata kalau dibandingin sama teman-teman komunitas di Jawa dan kota-kota lainnya di Indonesia, SkolMus itu posisinya kayak gini nih. Kita mungkin masih ketinggalan di aspek ini, tapi mungkin malah di aspek tertentu, teman-teman yang lain malah belum melakukan. Pernah ada hal kayak gitu nggak?
Ete
Pertanyaannya sulit.
Rara
Sidang tesis, hahaha.
Destro
Pertanyaannya susah sekali nih. Pertanyaannya mungkin kayak Ben, ada tantangan, tapi apa yang bertumbuh secara organik di Kupang. Melihat konteks fotografi di luar Kupang, keunggulannya ada beberapa teman-teman yang punya akses terhadap kurator. Kalau apresiasi sendiri kami tidak tahu. Tapi kayak semacam kurator, ataupun iklim fotografinya itu, beberapa orang yang sudah tahu tentang fungsi fotografi bukan hanya secara estetika tapi juga secara sosial.
Ngeliat InSumatera (Photo Festival), terus ngeliat JIPFest (Jakarta International Photo Festival). Nah, Kupang itu kalau untuk komunitas fotografi yang eksis dari tahun 2011 sampai sekarang itu ya SkolMus. Nah, beberapa tahun terakhir ini akhirnya SkolMus memilih untuk foto untuk perubahan sosial atau untuk transformasi sosial.
Makanya kita memilih pendekatan dokumenter dan ada foto-foto cerita kayak gitu. Nah, sampai sekarang pun kita masih bereksperimen. Kira-kira kita mau dikenal sebagai komunitas fotografi yang seperti apa? Kalau tadi yang Ete bilang, kita sekarang menuju komunitas foto yang mendokumentasikan tentang kebudayaan. Kebudayaan kota atau fenomena sosial yang terjadi.
Mungkin langkah kecil kami melalui Program Pengarsipan Publik “Merekam Kota” itu, yang kami pikir belum dilakukan oleh teman-teman di luar konteks Kupang. Nah, merekam itu dari tiga perspektif itu. Kota dari sisi masa lampau, kota yang sekarang, dan kota yang akan nanti. Bagi kami, itu bukan terpisah tapi dia linear.
Bukan dari yang belakang atau depan tapi kami lihat masa lampau, masa sekarang, dan masa depan itu sebagai sesuatu yang linear. Bagi kami, mungkin itu yang sekarang jadi posisi tawarnya kami kalau dari SkolMus terhadap konteks fotografi di luar Kupang. Bahwa fotografi, istilahnya, bisa dikaitkan dengan disiplin ilmu-ilmu lain.
Mas Wid
Aku cukup setuju dengan assesment itu sih sebenarnya, Destro. Misalnya kalau dibandingin sama teman-teman komunitas di Jawa, aku lihat SkolMus berani ambil posisi yang sangat spesifik. Misalnya kayak fotografi untuk perubahan sosial. Itu sesuatu yang mungkin komunitas di Jawa tidak akan lakukan, mereka akan selalu ngambil yang lebih general.
Kalaupun mereka ambil edukasi, edukasinya lebih kayak “oke, kita bisa melakukan banyak hal.” Aku setuju dengan assesment SkolMus. Menurutku justru itu nilai tawarnya SkolMus yang menurutku nggak ada yang lain sih, so far yang aku tahu.
Rara
Aku sangat tertarik dengan penawaran…. Posisi tawar Skolmus yang melihat fotografi dari berbagai latar belakang dan lintas disiplin. Dan ingin bereksperimen melihat fotografi untuk perubahan sosial atau transformasi sosial.
Kalau menurut kalian sendiri, bagaimana sih sebenarnya fotografi berperan dalam menciptakan perubahan sosial? Karena banyak juga akademisi-akademisi atau bahkan fotografer yang tidak percaya dengan itu. Dan aku sangat tertarik karena kalian lagi bereksperimen di situ. Jadi mungkin bisa sharing gimana sih caranya fotografi atau peran fotografi dalam perubahan sosial menurut kalian?
Frengki
Fotografi untuk perubahan sosial yang kami buat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat juga sih salah satunya. Karena kan kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Jadi tidak peduli seberapa baik teknis yang dia gunakan, tapi kan itu akan menjadi sebuah informasi baru untuk generasi yang akan mendatang. Jadi transformasi itu kan harus ditajamkan juga dari sekarang sebagai pengetahuan informasi untuk generasi yang akan datang.
Tantangannya di kota Kupang memang masih banyak juga orang yang ketakutan untuk mendokumentasikan perubahan-perubahan sosial yang ada karena merasa minder dalam hal teknis. Teknis itu bisa dipelajari dengan mengikuti kelas dan sebagainya karena banyak tersedia informasi untuk belajar teknis. Misalnya mau foto seperti ini, ada informasinya di YouTube dan sebagainya.
Tapi masih banyak yang ketakutan untuk mendokumentasikan itu dan berbagi dengan SkolMus dan sebagainya.
Destro
Kalau dari beta, perubahan sosial itu bukan jadi suatu tujuan, tapi dia kayak suatu cara saja. Karena kalau jadi tujuan, itu tidak akan…. apa ya? Kita tetap bereksperimen untuk itu jadi sebuah cara. Semacam contohnya…. Kayak kita pernah bantu Lakoat Kujawas di Kapan tempatnya Dicky Senda dan beberapa tahun lalu kita pernah bantu untuk Sekolah Luar Biasa kayak gitu.
Atau kita mendekatkan fotografi terhadap orang-orang di kampung. Jadi perubahan sosial bagi kami itu hanya sebuah cara, bukan tujuan. Kita mengerjakannya pakai cara itu. Dia bukan jadi suatu tujuan.
Ben
Itu menarik sekali. Setuju sama Wid, menurut saya pribadi, kalian melakukan percobaan yang luar biasa untuk bilang bahwa fotografi atau paling tidak fotografi yang saya harapkan adalah untuk perubahan sosial.
Nah, kalian kan sudah berjalan selama sembilan tahun ya? Nah, itu memang dari awal kalian memang sudah membentuk Skolus fotografi untuk perubahan sosial atau apakah itu merupakan suatu proses dengan sendirinya? Kalian menemukan kayak “oh, tepatnya ini untuk kayak gini.”
Destro
Sebenarnya dibentuk itu sudah agak lama. Kita terinspirasi dari Kelas Pagi Yogya. Bagaimana fotografi atau multimedia itu juga bisa diakses oleh kawan-kawan di Kupang. Hanya sesimple itu. Banyak juga orang yang mendapat akses fotografi bukan hanya dari kelas pagi, tapi ada beberapa yang masuk kayak fotografi model, fotografi fashion, wedding, dan lain-lain. SkolMus memilih untuk di jalur fotografi dokumentasi fenomena sosial. Bukan terkesan eksklusif tapi maksudnya lebih menggunakan fotografi untuk sosial. Dan sampai sekarang pun juga kita merangkul teman-teman yang di jalur lain. Jadi memang sampai titik ini juga semacam Ete bilang, eksperimen dan mana yang lebih pas. Kayak gitu.
Karena kita sifatnya komunitas, ada yang masuk, keluar. Ada yang masuk, keluar.
Mas Wid
Kalau di Kupang sendiri berarti sebetulnya selain SkolMus, ada komunitas-komunitas foto lain nggak sih yang mereka fokusnya beda-beda? Apapun itu, entah edukasi atau lainnya.
Ete
Kalau mau bilang komunitas, kayaknya lebih tepatnya kayak teman-teman yang bekerja di usaha.
Destro
Kalaupun ada, biasanya mereka by moment. Contohnya kayak ada acara human interest photography Indonesia. Nanti datang, terus yang sudah lama tidak pegang kamera nanti muncul lagi. Atau ada satu fotografer fashion yang datang bikin workshop, terus yang lain mulai mengeluarkan kameranya. Kamera yang sudah berdebu mulai dibawa lagi.
Mas Wid
Tapi berarti orang-orangnya itu-itu lagi ya? Orang-orangnya kayak sebenarnya kalian kenal. Tapi pas lagi nggak ada momen, nggak kelihatan ya udah mereka ngilang. Nanti muncul lagi pas ada momen lagi. Gitu maksudnya?
Destro
Ya ada aja yang begitu. Ada juga yang baru-baru muncul karena terjun ke industri tadi. Karena industri cukup menarik, kan? Kayak wedding dan model itu cukup banyak membuat bibit-bibit baru.
Rara
Boleh ceritain nggak sih industri fotografi di Kupang itu kayak gimana sih sekarang? Terus perubahannya? Dan sebenarnya kapan sih fotografi mulai dilihat sebagai bagian dari industri kreatif di Kupang? Mungkin nggak harus persis tahunnya ya… cuma observasi kalian aja.
Frengki
Fotografi masuk industri di Kupang sudah cukup lama sih. Tapi kan pelaku-pelakunya tidak terlalu banyak. Dulu dimulai dengan foto-foto keliling gitu juga ada kan. Fotografer wedding dan sebagainya juga ada. Tapi untuk yang banyak itu kan baru sekitar tahun 2000-an lah, kalau tidak salah 2008. Itu baru cukup banyak yang di bidang industri karena kan cukup menjanjikan juga.
Jadi banyak sekali yang terlibat di industri itu. Tapi secara pengetahuan di bidang fotografi, tidak melalui workshop formal dan sebagainya itu hanya sekadar sharing di dalam komunitas-komunitas atau di dalam lingkup industri mereka sendiri. Jadi waktu dulu kumpul-kumpul itu untuk berbagi ilmu juga. Atau sekaligus di saat hunting itu sekaligus sebagai ilmu. Kayak gitu.
Tapi ya untuk saat ini sudah cukup banyak dan ada juga yang mengikuti workshop-workshop di luar untuk melakukan pengembangan diri.
Destro
Kalau sepengetahuan beta tuh kayaknya mulai masuk konteks industri mungkin mulai tenar-tenar film Korea ya… Mulai masuk pre-wed. Jadi pre-wednya kiblatnya kayak Korea gitu gitu. Pre-wed itu juga akhirnya dianggap kebutuhan. Dulu di Kupang orang mau nikah ya nikah saja. Tapi sekarang itu tidak akan menikah kalau belum ada foto pre-wed. Foto pre-wed untuk dijadikan foto undangan. Ada orang yang beli kamera hari ini terus langsung bisa berani untuk foto pre-wed. Akhirnya yang lain juga ikut. Industrinya mulai naik. Kalau setahu beta dari situ ya, dari foto pre-wed itu.
Ben
Fotografi mengubah kultur.
Destro
Tapi kalau yang pas foto, nikahan, atau kematian itu pasti selalu ada. Tapi mulai booming itu waktu foto pre-wed mulai naik. Akhirnya itu juga masuk kayak foto-foto pariwisata, bagaimana orang foto pre-wed tapi di lokasi-lokasi pariwisata. Akhirnya pariwisata itu juga naik. Jadi konteksnya bisa lebih dalam lagi ke situ. Ketika suatu tempat pariwisata itu mulai terkenal, kayak Sumba gitu, orang beramai-ramai untuk pre-wed di sana.
Atau mereka lihat video-video atau foto-foto dari fotografer-fotografer di luar Kupang yang kayak di Sumba, akhirnya menjadi salah satu destinasi mereka untuk foto pre-wed di sana. Jadi kalau bilang konteks industri yang mulai booming kayaknya mulai dari yang ada foto-foto pre-wed. Gitu kalau beta bilang.
Ben
Itu menarik banget. Soalnya dengan kata lain, fotografi itu mengubah budaya kalian. Bisa dibilang begitu, sekarang ada proses sebelum menikahnya, bukan langsung menikah.
Rara
Prasyarat.
Mas Wid
Atau mungkin menarik juga kalau misalnya ternyata ada arsip-arsipnya ya… Mulai tahun berapa tuh pre-wed itu ada. Sebelumnya ya udah, foto wedding… Biasanya mereka pasti menghubungi studio. Tapi kan kalau pre-wed itu… Ya mungkin studio juga menyediakan jasanya. Tapi biasanya kan ada pemain-pemain individualnya dulu. Terus nyedain jasa, baru pada ikutan. Itu sebenarnya menarik juga sih kalau misalnya proyek pengarsipan mengenai ini. Lucu juga tuh.
Ben
Coba tolong itu buat taun depan kali buat festival…
Rara
Festival pre-wedding, hahaha.
Nah, masih ngomongin industri, tapi enggak langsung terkait. Aku tertarik deh kalau orang-orang yang pengen ikutan workshop SkolMus, biasanya dia motivasinya apa sih? Apakah ada motivasi ekonomi misalnya tadi, karena mereka pengen ikut jadi fotografer wedding? Atau beda-beda banget saking pesertanya beragam banget?
Destro
Ete mungkin. Ete kan tahun 2017 masuk SkolMus. Kenapa mau masuk SkolMus? Apa karena liat beta atau apa? Hahaha…
Ete
Waktu itu alasan masuk SkolMus karena mau belajar fotografi supaya bisa ke desa terus foto-foto pangan lokal. Masih sih sampai sekarang, lagi mengkampanyekan pangan lokal. Jadi makanya waktu itu tertarik untuk belajar. Dan kebetulan waktu itu baru beli kamera.
Jadi dari pengalaman selama tiga tahun ini bersama SkolMus, lalu di tahun 2018 mulai bergabung lebih aktif lagi di SkolMus, terlibat di dalam. Ketika ada yang mau mendaftar kelas pelatihan, mewawancarai, menanyakan alasan, dan sebagainya. Jadi memang ada berbagai alasan kenapa orang tertarik untuk belajar fotografi, khususnya fotografi dokumenter.
Memang yang kelas tahunan itu khusus kelas sosial-dokumenter. Jadi ada yang punya alasan tertarik karena bagi mereka itu agak berbeda lah… Fotografi dokumenter jarang sekali mereka dengar. Baru sekali mereka dengar dan mereka ingin belajar. Lalu, ada juga yang mau belajar teknik-teknik, bagaimana cara memotret. Lalu ada yang memang secara profesional, dia kan ada studio foto sendiri. Lalu ada juga yang sama alasannya kayak saya. Mereka punya satu basic pekerjaan yang bersentuhan dengan hal-hal sosial sehingga bagi mereka ini adalah kesempatan di dalam pengembangan secara dokumentasi. Jadi ada banyak sekali alasan. Ini yang menjadi tantangan bagi SkolMus ketika membuat kelas tahunan. Latar belakangnya berbeda, motivasinya berbeda. Untuk menyatukan semua itu dalam sebuah kelas kadang-kadang menguras pikiran, tenaga…
Frengki
Kalau di SkolMus sendiri untuk pesertanya itu kan seperti yang tadi dibilang Ete, cukup beragam. Tapi memang ada beberapa juga yang pokoknya untuk pengembangan profesinya dia di bidang fotografi. Tapi secara jumlahnya sih lebih sedikit karena kan kebanyakan yang terlibat itu orang-orang yang ingin belajarnya untuk mendokumentasikan kegiatan-kegiatan mereka juga kayak LSM dan sebagainya. Atau kegiatan keseharian mereka.
Terus ada juga untuk yang eksis di media sosial, dan sebagainya. Pokoknya untuk mengekspresikan apa yang ingin mereka sampaikan. Bukan lebih kepada penjualan. Selama saya di SkolMus dari 2018 itu, memang ada perubahan sih, kayak orang-orang yang fokusnya kepada dunia profesional. Kurang berminat sih, memang tidak terlalu fokus kepada komersil sih.
Yang bertahan itu kebanyakan yang untuk keperluan pribadinya dia, kayak untuk pengembangan dirinya dia, terus untuk dokumentasi kegiatan di kantornya dia dan sebagainya. Bukan untuk yang komersil. Jadi itu menjadi salah satu tantangan. Karena kan dari SkolMus awal itu pernah ada juga kelas yang bersifat komersil. Ada mentornya yang di bidang komersil juga misalnya dari bidang wedding dan sebagainya. Tapi itu kurang tahu sih keterlibatan pesertanya seperti apa.
Waktu terlibat di situ, yang saya amati bahwa ternyata orang yang berfokus di komersil itu lebih malas gitu dibandingkan orang-orang yang untuk kenyamanan dirinya dia, bukan untuk komersil. Hahaha.
Mas Wid
Aku pribadi merasa kayak apa ya… Ya mungkin ini opini pribadiku juga sih karena sebagai pengurus komunitas yang juga punya problem yang sama dengan kalian waktu kita masih di Kelas Pagi Yogya. Aku justru merasa mungkin memang ada baiknya komunitas itu cukup eksplisit dalam menyampaikan ekspektasinya dia. Bukan berarti sesuatu yang dia tidak pilih itu cabang fotografi yang buruk atau gimana, tapi memang fokusnya bukan ke situ.
Karena memang pada akhirnya ketika campur-campur jadi satu gitu kayak yang tadi Ete bilang. Itu sangat menyulitkan sih untuk “kita mau bikin kelas yang seperti apa?” Kelas Pagi Yogya itu arah atau nafasnya itu akan sangat terpengaruh dengan kepala sekolanya itu siapa?
Menurutku sebenarnya malah akan menarik ketika ya kayak yang kalian bilang tadi, SkolMus itu arahnya ke… Bukan tujuan tapi peran fotografi sebagai perubahan sosial. Itu juga tadi aku tertarik sama yang dibilang sama Frengki. Kalian tadi sempat bilang banyak….. aku nggak tahu banyak atau nggak, tapi ada beberapa orang yang memang berasal dari LSM dan ingin menggunakan skill fotografi untuk memajukan perubahan sosial.
Itu apakah kalian sebetulnya sudah berjejaring dengan LSM-LSM itu atau mereka tahu SkolMus entah dari mana dan kemudian “oh, ini sesuai dengan visi kami nih makanya kami belajar aja di situ.” Atau gimana?
Frengki
Berjejaring sih, kita tidak melakukan yang kayak perekrutan itu. Misalnya dari LSM mau terlibat sih silakan. Keterlibatan mereka juga sebenarnya secara personal, bukan secara LSM. Jejaring ini terbentuk karena SkolMus pernah dipercayakan untuk mendokumentasikan kegiatan-kegiatan mereka (LSM). Sehingga orang LSM yang tertarik dengan fotografi akhirnya berinisiatif (secara personal) untuk belajar di SkolMus agar skill fotografi bisa meningkat.
Destro
Sebenarnya kalau kayak membicarakan peserta itu sejak 2011…. Kebetulan beta masuknya di 2011. Mungkin nanti bisa disimpulkan bentuknya seperti apa. Kalau waktu 2011 itu, memang kita di fotografi dan diminta hanya menghasilkan satu karya. Itu foto single. Belum ada foto-foto story. Belum mengenal sampai di titik itu dan mentornya juga belum mentor yang memahami gitu.
Terus mulai masuk tahun 2015, itu akhirnya kita bertemu dengan Alfred Djami dan Adhyt Manafe melalui workshop fotografi untuk perempuan dengan tema “Parampuan punya Carita” yang dimentoring oleh Alfred Djami & Adhyt Manafe. Dalam workshop ini mereka menggunakan pendekatan foto bercerita. Setelah ini kemudian datanglah Karolus Naga yang turut membawa pendekatan cerita foto. Kita lihat basic-nya dia itu, dia juga bikin photo story. Jadi waktu itu dia di Kupang. Kita coba bagi dua kelas. Itu tahun 2014 atau 2015. Jadi anak-anak ada yang belajar foto single, ada foto story.
Jadi mau dibilang kayaknya mentor-mentor itu memberikan warna yang itu… foto-foto story. Jadi pas pameran pun juga kita bagi foto single, foto story. Cuma satu tahun. Setelah dia balik, akhirnya kita milih, kita mau di foto single atau foto story? Akhirnya kita pilih foto story. Akhirnya foto story itu pun dia linear dengan dokumentasi sosial itu. Akhirnya sampai sekarang kita memilih untuk pendekatannya foto story, mendokumentasikan fenomena sosial. Sampai sekarang kelas foto single itu tidak ada lagi. Jadi bisa disimpulkan sendiri itu apa. Bukan foto single tidak bercerita tapi maksudnya apa ya…. Tidak tahu, hehe… Ya gitulah.
Rara
Menarik itu. Ada peran Karolus Naga berarti ya di SkolMus!
Mas Wid
Iya! Aku tuh begitu diobrolin kayak gini ya, ternyata simpul-simpulnya jadi mulai kelihatan. Oh oke, arah-arahnya itu bawaan dari itu, dari ini, dari ini. Karena Karolus Naga sempet lama juga di Yogya. Tapi ternyata satu orang itu bisa ngasih arah sedemikian jauhnya. Paling dia juga bersinggungan dengan SkolMus singkat banget ya? Tapi jadi bisa kayak gitu. Itu menarik sih.
Rara
Tadi kan kita udah omongin pesertanya ya. Dalam artian, siapa aja pesertanya dan kenapa mereka tertarik gabung dengan SkolMus. Aku penasaran, selama kalian di SkolMus, kalau narasi-narasi cerita foto yang muncul dari workshop-workshop atau kelas-kelas kalian tuh kayak gimana sih? Dan apakah ada cerita-cerita atau narasi-narasi foto yang menurut kalian tuh memang sangat kontekstual dengan Kupang atau dengan NTT?
Destro
Itu pertanyaan sulit.
Rara
Sidang tesis lagi, hahaha.
Destro
Kenapa ya pertanyaannya sulit-sulit?
Ben
Sebagai contoh aja, dulu kita pernah ngerjain workshop di Malang. Banyak banget yang ceritanya tentang pulang atau tentang rumah karena banyak banget yang ikut workshop kita tuh masih mahasiswa. Jadi mereka selalu berangan-angan ingin kembali pulang. Dan apakah mungkin di Kupang ada narasi atau tema-tema yang seringkali kalian temukan?
Frengki
Kalau sepanjang kelas reguler itu, yang diamati bahwa karena kita sering bereksperimen itu. Jadi, kadang tema itu kita yang siapkan, mereka yang pilih kayak gitu. Ada juga yang mereka menentukan temanya sendiri. Jadi gak menentu temanya.
Yang kita amati itu bahwa ada beberapa kali kalau misalnya kita kasi tema, mereka merasa bahwa itu sulit untuk dikerjakan. Adapula yang kita kasih mereka kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang mau mereka kerjakan sesuai dengan tema besar yang ada. Jadi yang waktu Karolus Naga datang itu, itu kayaknya tanpa tema.
Jadi mereka foto-foto story-nya sesuai dengan hal yang dekat dengan mereka, misalnya rumah atau profesi mereka. Kita lihat banyak juga yang mengerjakan sesuatu yang dekat dengan mereka atau pekerjaan mereka. Dokumentasi rumah hanya beberapa orang. Untuk yang saya lihat, belum terlalu banyak yang mendokumentasikan apa yang ada di rumah mereka. Lebih kepada profesi mereka. Apa yang sering mereka lakukan setiap hari atau bisnis yang mereka lakukan. Terus ada juga yang ingin mengambil tema-tema yang ada diluar lingkarnya dia kayak mendokumentasikan makanan di daerah lain dan sebagainya.
Jadi untuk keberagaman itu kita…. waktu kita melakukan eksperimen dengan penyediaan tema untuk mereka pilih, dengan sub-sub tema yang ada, itu lebih beragam. Memberikan kebebasan kepada mereka untuk menentukan tema sendiri itu biasanya mereka akan lebih kebingungan lagi mengerjakan apa yang harus dilakukan. Tapi untuk yang berkaitan dengan rumah sih tidak terlalu banyak juga, kebanyakan tentang profesi mereka.
Rara
Lalu, Bagaimana kalian menjamin keberlanjutan kalian sendiri sebagai pengurus? Maksudnya kan aku tahu ada SkolMus Enterprise.
Apakah kalian cuma mendapat upah dari SkolMus Enterprise? Jadi kalau yang kegiatan komunitas bisa dibilang non-profit? Aku penasaran sama model pembiayaan kalian.
Ben
Soalnya pastinya kita kalau ngomongin komunitas kan pasti akan membicarakan pendanaan biar komunitasnya sustainable, berkelanjutan gitu. Gimana kalian menjaga hal itu karena itu pasti aspek yang penting juga di komunitas. Atau kalian apply donor kayak LSM-kah? Atau apa gitu?
Rara
Atau kalian ada temen oligark, hahaha.
Ben
Atau kalian ada tuan tanah gitu di sana.
Destro
Punya patron.
Ben
Iya, kalau ada patron kita bagi-bagi..
Ete
Kalau Skolmus sendiri memang sangat terbantu dengan Skolmus Enterprise-nya. Jadi memang ini adalah dua yang terpisah tapi bersatu. Duh bagaimana ya, hahahahahaha….
Destro
Bagai pinang dibelah satu.
Rara
Pinang dibelah satu?! hahaha.
Destro
Kata-katanya itu tolong diperbaiki.
Ete
Jadi ini kan memang kita tidak bisa memungkiri bahwa uang juga mengambil peran yang penting dalam kegiatan sosial. Makanya kalau mau bicara soal edukasi, itu kita lebih senang menyebutnya kolaborasi. Jadi ada kerjasama antara dua pihak sehingga ada saling memiliki. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Karena bagi kami ketika menyebut sebagai “kolaborasi” berarti ada usaha dari dua pihak, maka biasanya akan berjalan lebih baik daripada hanya satu pihak. Nah, untuk social enterprise ini sendiri mungkin kan Skolmus itu Sekolah Multi Media Untuk Semua. Jadi agak terbantu karena kita tidak membatasi diri sebagai kerja-kerja kita itu hanya sebagai fotografer.
Jadi ada videografer, ada desain grafis. Begitu. Dan juga ada fotografer di dalamnya toh. Semakin lama semakin komplit kita mengambil job-job. Jadi kalau bicara soal job, itu pasti masuknya melalui Skolmus Enterprise. Nah, ketika mengambil job seperti itu ada kesepakatan-kesepakatan ya. Kesepakatan-kesepakatan ke dalam yang memang sudah dibicarakan bersama.
Bagaimana budgetnya, berapa banyak yang akan digunakan untuk kegiatan SkolMus, dan bagaimana SkolMus Enterprise ini membuka peluang bagi teman-teman fotografer atau videografer profesional. Jadi memang kalau mau lihat, Skolmus Enterprise itu bukan hanya menopang finansialnya kegiatan sosial Skolmus tapi juga bagaimana teman-teman yang ada di dalam komunitas ini. Seperti itu.
Frengki
Jadi kita tidak membagi-bagi tugas dalam artian bidang sosial dan bidang enterprise. Semuanya dikerjakan oleh orang yang sama. Hanya bagaimana cara memanajemennya supaya kegiatan-kegiatan sosialnya tetap hidup atas dukungan dari SkolMus enterprise. Kita tidak ingin pendanaan yang dulunya dibiayai dari patungan yang kita rasa akan membebani orang lain.
Akhirnya kita tidak bisa berbuat apa-apa karena bergantung kepada patungan saja. Akhirnya dibuatlah Skolmus Enterprise itu tujuannya bahwa kalau Skolmus mendapatkan job dalam bentuk apapun, tapi yang dihubungi itu melalui Skolmus, maka manajemennya bahwa akan ada penyediaan dana untuk kegiatan sosialnya Skolmus sendiri. Dan secara profesionalnya itu tidak diganggu. Kayak gitu.
Bagaimana di manajemen itu bahwa Jasa profesionalnya tidak diganggu dan alokasi dana untuk kegiatan sosial Skolmus pun sudah dimasukkan dalam penawaran. Ada juga di dalam Skolmus itu orang-orang yang bekerja secara profesional di bagian dokumentasi wedding dan sebagainya, adapula yang untuk kegiatan-kegiatan LSM. Akhirnya selama ini juga orang-orang itu sudah banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan dokumentasi LSM dan orang tahu bahwa mereka sekaligus mendukung kegiatan sosialnya SkolMus.
Akhirnya SkolMus mempunyai sumbernya dari itu, karena kita menerimanya bukan hanya job dalam bentuk fotografer saja tapi dalam bentuk video, ataukah di dalam pembuatan modul, pembuatan buku dan sebagainya. Skolmus Enterprisenya mendapatkan duit yang nantinya dipakai untuk mendukung kegiatan sosial.
Mas Wid
Dengan sistem yang kayak gitu sekarang masih feasible, dalam artian masih berjalan nggak sistem itu?
Frengki
Untuk saat ini berjalan, tapi memang masih ada kekurangan. Tapi kan paling tidak SkolMus bisa menghidupi dirinya sendirilah. Tidak seperti dulu lagi yang patungan-patungan dan sebagainya.
Mas Wid
Dalam artian yang biaya kontrak ruang, kemudian internet, listrik, segala macam itu bisa ter-cover dari enterprise nggak?
Frengki
Ya.
Rara
Kalau menurut kalian, idealnya nih… Apa aja sih yang dibutuhin SkolMus untuk lebih maksimal atau optimal ke depannya untuk menjalankan kerja-kerjanya? Termasuk untuk pengarsipan, enterprise, pendidikannya. Apa sih yang dibutuhin? Dan apakah internet itu membantu kalian dalam mengakses kebutuhan-kebutuhan kalian hari ini, atau justru kalian butuh lebih dari sekadar akses ke internet atau akses ke pengetahuan?
Ete
Kalau kami sih kalau secara komunitas, kami membutuhkan orang-orang yang memang punya komitmen dan kapasitas dalam menjalankan kegiatan-kegiatan yang ada. Misalnya untuk kelas tahunan, kita membutuhkan mentor, kita membutuhkan pemateri. Bagi kami sih itu akan sangat mendukung kegiatan-kegiatan kami. Bukan hanya kelas reguler. Misalnya ada workshop-workshop keluar. Itu akan sangat menolong, dengan Sumber Daya Manusia, potensi-potensi seperti itu.
Lalu kalau secara social enterprise sih, kami mencari ke depan itu kebutuhan permintaan konsumen itu. Pelanggan itu. Akan semakin beragam. Nah, bagaimana supaya Skolmus sendiri bisa memenuhi apa yang sudah menjadi namanya: Multi Media Untuk Semua. Multi Media.
Jadi bagi kami sih dengan banyaknya potensi-potensi yang ada, memang ada banyak anggota yang multitalenta ya. Tapi kalau misalnya job itu datang sekaligus dengan waktu yang normal dan orang terbatas pun itu mungkin akan menjadi suatu pertimbangan tersendiri bagi kami ke depannya jika Skolmus punya beragam skill-skill yang ada dalam bidang multi media. Bisa sangat membantu pengembangan social enterprise-nya. Itu sih dari saya secara pribadi.
Mungkin teman-teman bisa melihat yang berbeda.
Frengki
Jadi, dari kita bahwa memang SkolMus punya kendala sana sini yang paling besar itu di SDM karena kita secara SDM sendiri sangat minim, bukan terbatas lagi. Sangat minim. Karena saat kita mendapat dua kerjaan sekaligus tapi karena terbatas secara SDM maka kita harus meng-hire orang lagi untuk mengerjakan kerjaan tersebut menggunakan nama SkolMus. Kayak gitu-gitu.
Misalnya saat kita kasih workshop di kampus kesehatan. Itu butuh orang yang banyak dan kita kewalahan. Akhirnya kita harus hire orang lagi karena mereka mintanya dari Skolmus. Kan gitu. Jadi kita memang kewalahan di dalam SDM.
Terus di dalam pengorganisasian Skolmus sendiri juga kita masih minim orang karena di dalam Skolmus itu bukan semuanya orang-orang bebas. Mereka juga punya pekerjaan, dan sebagainya. Akhirnya kita kewalahan kalau harus mengurus manajemen. Dan ini menyulitkan bekerja. Yang paling utama itu SDM. Jadi kita saat kelas tahunan itu sekaligus tahap untuk penjaringan sih, penjaringan kadernya kita. Tapi tetap kewalahan karena kebanyakan orang-orang yang datang juga orang-orang bekerja. Jadi kita masih kewalahan di kader.
Itu tujuannya bahwa Skolmus bukan hanya di dalam intern Skolmus saja yang terlibat. Ada orang luar juga yang memberikan masukkan untuk pengembangan Skolmus ke depan. Karena kita tidak mau bahwa kita terlalu terkungkung di dalam komunitas kita yang….. artinya kita tidak tahu apa yang terjadi di luar.
Pandangan orang tentang bentuk-bentuk visualnya kita, misalnya. Karena itu selain pengembangan untuk peserta didiknya juga, itu pengembangan juga untuk mentor karena mentor akan melihat lagi, “oh, ini arahnya ke sini untuk menceritakan kisah tentang ini….”
Jadi bukan hanya peserta didiknya saja, sekaligus kita juga belajar bahwa di sini mentornya juga membentuk untuk memilih materinya dulu, terus di-sharing lagi kepada mentor tamu. Jadi kita bisa…. ”oh, ada perbedaan cara kurasi.” Akhirnya kita mempelajari teknik-teknik kurasi juga.
Destro
Pertanyaan tadi apa ya? Yang dibutuhkan Skolmus…. Kalau beta sih lebih kayak mungkin gerakan-gerakan baru atau tawaran baru ya. Tawaran baru itu semacam kolaborasi. Karena kan kalau mau bilang SDM, kalau mau jujur-jujuran, biasanya kan orang ikut-ikut karena mentornya atau karena tertarik dengan fotografinya. Kalau mungkin ke depan kita butuhkan itu kerjasama dengan mungkin teman-teman Arka atau dengan Kelas Pagi Yogya atau Jakarta. Jadi modelnya kayak jaringan gitu.
Karena kan ketika orang mau ikut workshop, biasanya kan orang lihat ini siapa yang bawain materi. Makanya pilihannya juga waktu kita minta Mas Wid dengan Mas Edy Purnomo itu kan jelas background-nya punya background kurasi atau mentor yang berbeda. Mas Wid pegang di Yogya, Mas Ed di Jakarta. Itu salah satunya juga bentuk dari Skolmus mencoba mencari mata di luar Skolmus sendiri.
Ketika orang melihat, oh ya, Mas Wid lagi kasih kelas. Mas Ed lagi kasih kelas. Itu akhirnya orang-orang yang di dalam Skolmus di Kupang juga bisa melihat ternyata Skolmus sudah buka jaringan keluar. Punya mentor online kayak Mas Ed yang di PannaFoto, Mas Wid yang punya latar belakang Kelas Pagi Yogya, kayak gitu-gitu. Makanya kita kalau mau bilang yang dibutuhkan sih jaringan.
Kalau kita bikin workshop gitu kan salah satu yang bikin tertarik itu mentornya.
Frengki
Bikin orang tertarik, kayak gitu-gitu, hehe… Yang dibutuhkan kan jaringan dan kolaborasi dari luar Kupang.
Ben
Sebenernya tadi menarik banget sih. Soalnya tadi kan milih Mas Ed sama Wid. Jadi penasaran sih. Menurut kalian, fotografi di Indonesia masih terlalu Jawa-sentris nggak?
Destro
Konteks apa? Konteks kota-kah atau apa?
Ben
Dari pengetahuan tentang fotografi itu sendiri maupun mungkin cerita-cerita yang diangkat fotografi sendiri.
Frengki
Waktu kita menulis tentang Jawa-sentris itu, karena waktu Skolmus dibentuk itu pendidikan fotografi kan hanya ada di Jawa. Untuk aksesnya itu semuanya harus di Jawa. Di Kupang itu sulit sekali untuk bahas tentang multi media dan orang harus berkorban banyak juga untuk mengakses pendidikan itu.
Ketersediaan tutorial dan sebagainya…. Internet itu kan waktu itu masih sangat rumit, kan. Kita tahunya hanya bisa didapat di Jawa. Dan kita harus ikut workshop di Jawa juga. Nah, itu kan terbentuklah perspektif Jawa-sentris. Terus semua kegiatan itu berada hanya di Jawa. Akhirnya, untuk daerah-daerah lain sulit untuk mengakses pendidikan. Mereka juga butuh pengembangan di daerah, kan? Tapi karena keterbatasan ruang belajar di daerah, akhirnya itu membatasi pengetahuan mereka sih.
Kalau sekarang sistem online sih sudah aman. Tapi kan orang-orang tetap membutuhkan pengalaman secara langsung karena itu kan berbeda dengan secara online. Secara online itu kan kita terbatas antara waktu dan sebagainya. Terus kita tidak bisa menciptakan ruang untuk diskusi di samping gedung dan sebagainya untuk mendapatkan masukkan-masukkan yang lain. Jadi kita bisa cerita bebas itu akan cukup berpengaruh sih untuk pengembangan diri. Gitu.
Ete
Kalau menurut saya sih itu karena kegiatan-kegiatan pameran atau workshop-workshop otomatis kurang berkualitas gitu, heehehehehe…. Pasti akan ke Jawa kan? Entah karena berbagai pertimbangan atau budget, tapi akhirnya jadi seolah-olah bahwa semua hanya tersedia di Jawa. Dan memang kenyataannya begitu ya, hehehehehe….
Tadi sudah bilang, kalaupun lewat Zoom tapi memang bagaimana pun juga komunikasi secara langsung, bertemu secara langsung itu koneksinya lebih kuat. Itu sih menurut saya.
Destro
Makanya pertanyaan saya tadi, Jawa-sentris ini kita mau lihatnya dari sisi mana? Konten atau orang-orang? Kalau mau bilang orang-orang yang punya pengetahuan, SDM, atau kayak kurator gitu memang ada di Jawa semua. Atau konteksnya pendidikan. Kalau pendidikan, bagi kami di Kupang juga model yang kayak di Panna, sama juga dengan yang kami bikin di sini. Yang Arka bikin, sama juga dengan yang kami bikin di sini.
Makanya Jawa-sentris itu kita mau ambil dari yang perspektif mana? Mau perspektif narasinya atau bagaimana? Karena ketika di Kupang pun kalau mau bikin story ya story yang di Kupang, bukan story yang di Jawa. Makanya kalau Jawa-sentris mau ambil perspektif yang mana.
Rara
Tadi sih kebayangnya perspektifnya lebih ke tentang pengetahuan fotografinya sih. Tapi tadi udah cukup dijawab sih sama Frengki, Ete, Destro juga. Dulu mungkin aksesnya lebih eksklusif ya. Lebih sulit. Sekarang lebih mudah meskipun berbeda. Temen-temen Skolmus bisa dibilang kan udah menjadi tempat produksi dan reproduksi pengetahuan fotografi yang baru di Kupang.
Jadi udah menjadi pusat juga sebenernya, episentrum pengetahuan dan pengalaman fotografis di Timur gitu bisa dibilang. Dan itu harus dirayakan juga sih menurutku.
Ben
Kalian harus sangat bangga sih sama hal itu sih. Jujur aja, membangun itu sangat sulit.
Rara
Ya, dan bisa dibilang masih hidup sampai sekarang dan justru terus berkembang. Itu juga sesuatu yang banyak komunitas perlu belajar sih. Kalau Arka kan masih baru banget ya… Tapi banyak temen-temen juga, komunitas yang mungkin, Mas Wid lebih tahu ya? Yang awalnya rame.. terus biasanya dua-tiga tahun langsung mati. Bubar. Jadi banyak juga yang kita pengen pelajari sih dari pengalaman Skolmus.
Mas Wid
Sebenernya ini masih ada kaitannya sama Covid sih karena jadi mulai banyak program-program yang online gitu. Kalian sendiri jadi merasa ada efek tertentu nggak dengan sekarang jadi banyak diskusi online, webinar dan segala macam. Kalau kalian melihatnya gimana sih?
Destro
Kalau beta tidak terlalu suka dengan itu, diskusi online tapi tidak ada tindak lanjut. Jadi semacam euforia. Terus tidak ada summary-nya apa. Posting di YouTube satu jam, tidak mungkin kita nonton satu jam dan sulit untuk mendapat ringkasannya. Jadi tidak terlalu tertarik dengan itu. Mungkin dalam beberapa konteks efektif, relevan. Tapi bagi beta tidak terlalu efektif.
Beberapa penyedia atau beberapa institusi atau lembaga yang bikin diskusi online itu ya hanya sebatas euforia. Jadinya ramai di mana-mana, semua orang bikin. Tapi setelah itu apa? Tidak ada. Tidak ada follow-up, ringkasannya juga tidak ada di-upload di media sosial. Jadi orang yang tidak ikut itu tidak tahu ini mereka sedang membicarakan tentang apa.
Makanya itu juga yang jadi pilihan kami, Skolmus, untuk mencoba menjauh dari itu –dari keramaian Zoom itu. Terlalu euforia. Tapi di beberapa konteks ada yang efektif.
Ben
Iya, untuk hal itu setuju sih.
Rara
Sebenarnya kita juga masih belum menemukan formula atau pedagogi yang tepat untuk platform online atau digital ini.
Ben
Makanya kita di Arkademy belum bikin apa-apa sampai sekarang. Hahaha!
(Sebulan lebih setelah wawancara ini, Arkademy akhirnya mengadakan workshop online pertamanya…)
Neuron Theme is a creative theme created and designed with love and passion.
No Comments