Fotografi Era Politik Etis Kolonial

Claims to modernity, in any age, are artefacts of both ideology and imagination. To be ‘modern’ is to judge one’s experience of time and space and thus create new possibilities for oneself.

– Dipesh Chakrabarty

Ketika kamera pertama kali digunakan di Hindia Belanda pada awal 1840-an, orang-orang Eropa yang bekerja atas perintah kolonial menjadi agen utama penyebaran fotografi di Nusantara. Keterampilan khusus yang mensyaratkan besarnya investasi finansial menyebabkan fotografi kala itu hanya bisa diakses segelintir elit berduit. Di Hindia Belanda, mereka yang mampu membayar biaya foto studio biasanya terdiri dari pejabat Eropa, bangsawan Jawa, dan pengusaha Tionghoa.

Memasuki abad 20, kamera masih di luar jangkauan mayoritas penduduk Hindia Belanda namun fotografi mengalami tahap awal “demokratisasi” yang ditandai membanjirnya karya-karya foto. Penemuan kamera portabel dan film gulung mematahkan monopoli operator studio yang terampil dan menghantarkan fotografi ke ranah publik. Makin banyak kelas menengah Indo-Eropa, Tionghoa, dan pribumi yang mampu menyewa fotografer atau bahkan membeli kamera sendiri.

Jelang berakhirnya era kolonial, “politik etis” diluncurkan dan menjadi kebijakan resmi di Nusantara. Dalam konteks ini, fotografi ternyata mengambil peran yang sangat krusial dalam membentuk persepsi orang-orang Belanda terhadap Nusantara –terutama dalam mendefinisikan “modernitas”. Topik ini diulas dengan sangat apik melalui esai-esai yang terangkum dalam buku Photography, Modernity and the Governed in Late-colonial Indonesia (Amsterdam University Press, 2015).

Bagi saya, buku ini sangat menarik karena dua alasan. Pertama, kemampuannya menghadirkan historiografi fotografi di Nusantara yang tak sekadar bersifat kronologis. Kedua, analisa secara mendalam terhadap foto-foto buatan orang Eropa maupun praktik fotografi di Hindia Belanda dengan sudut pandang masyarakat adat, kelompok migran, dan komunitas lokal.

Delapan penulis dalam buku ini menggunakan sumber potret yang amat beragam mulai dari foto-foto amatir di rumah, yang diambil para profesional di studio, maupun yang beredar dalam format iklan, poster, kartu pos, buku, dan reportase resmi.  

Alih-alih menganalisa spirit nasionalisme atau revolusi, para penulis lebih tertarik mengeksplorasi definisi “modernitas” dan “peradaban” yang terbentuk lewat foto-foto tersebut, respons, serta dampak lanjutannya. Sejumlah foto ditelaah ulang lewat studi kritis lintas disiplin ilmu, menguak pemahaman baru yang mungkin tak disadari oleh fotografer maupun pembaca foto kala itu.

Bagian pertama (empat esai) mengungkap bagaimana otoritas Eropa menggunakan foto-foto orang Eropa untuk membayangkan Kebijakan Etis sebagai cita-cita ideal mereka di tanah Hindia Belanda. Karya Tichelman jadi salah satu rujukan untuk membayangkan masa depan etis bagi orang-orang Kalimantan. Masalahnya, Suku Dayak yang dianggap “primitif” dan rentan terhadap kepunahan setelah berhadapan dengan “modernisasi” rupanya tak tertangkap kamera Tichelman.

Secara selektif, Tichelman hanya memotret kelompok-kelompok yang berkembang seiring berlakunya Kebijakan Etis seperti Melayu lokal, migran Jawa, dan “Orang Timur Asing” (Tionghoa, Arab, India). Selain menjadi sasaran Kebijakan Etis, kelompok-kelompok ini dianggap lebih mengancam keamanan dibanding masyarakat adat seperti Suku Dayak. Dengan kata lain, foto-foto kolonial tak dapat dipahami secara terpisah dari konteks kekuasaan yang menyertainya.

Foto-foto yang awalnya dimaksudkan mendata dan mempromosikan Kebijakan Etis ternyata memicu pertanyaan lebih lanjut terkait “etika” agenda pemerintah kolonial. Butuh waktu dan proses berpikir yang relatif panjang sebelum kita akhirnya menyadari foto-foto tersebut sebagai contoh nostalgia kolonial yang sarat dengan sudut pandang yang mengobyektifikasi (colonial gaze).

Bagian kedua (lima esai) mengupas foto-foto yang dibuat orang-orang Hindia Belanda di era Kebijakan Etis, terutama bagaimana mereka memandang dirinya dalam pusaran “modernitas”.

Menariknya, sejumlah masyarakat Hindia Belanda ternyata menggunakan kameranya untuk menggambarkan realita yang justru berpijak dari dikotomi modern-tradisional rancangan kolonial. Kasta sosial dengan segala keistimewaan yang menyertainya mendorong mereka berupaya mencitrakan diri sebagai kasta tertinggi (Eropa) yang identik dengan kelompok paling “modern”.

Esai Joost Coté mengupas ketertarikan Raden Ajeng Kartini pada potensi fotografi untuk menginformasikan kawan korespondensinya di Eropa tentang menjadi Jawa “yang sebenarnya”. Coté menilai bahwa potret keluarga Kartini mengungkap “citra percaya diri rumah tangga Jawa yang modern”. Dalam konteks ini, kita tahu bahwa latar kehidupan aristokrat keluarga Kartini sangat dipengaruhi oleh pendidikan Barat yang menjadi motor Kebijakan Etis.

Sebagai Tionghoa, saya juga tertarik dengan esai Karen Strassler yang menyoroti peran Tionghoa dalam dunia fotografi di era Kebijakan Etis. Jika fotografer Eropa banyak menarik klien elit berduit, fotografer Tionghoa yang tarifnya lebih murah menjadi pilihan utama pelanggan kelas menengah. Pada awal abad ke-20, jumlah studio foto Tionghoa di Hindia Belanda melebihi Eropa.  

Menariknya, Tionghoa tak cuma berperan sebagai pengusaha tapi juga rujukan utama “modernitas”. Dinding atau etalase studio foto Tionghoa biasanya penuh contoh foto yang menampilkan aneka pose, lengkap dengan fashion terbaru dan properti yang dipandang “modern” seperti mesin jahit (teknologi baru), buku (pendidikan tinggi), dan mobil (barang bergengsi). Walhasil, pelanggan non-Tionghoa yang mampir jadi tertarik mengikuti “standar modern” semacam ini.

Karen Strassler membaca fenomena ini sebagai upaya kreatif kelompok Tionghoa mempertahankan identitas ketionghoaan sekaligus menegaskan kesetaraannya dengan orang Eropa. Kepiawaian membaca zaman mendorong mereka menangkap peluang masa depan dari calon-calon pelanggan di luar kelompok etnisnya –siasat yang terbukti manjur hingga kemudian hari.

Pada saat bersamaan, foto banyak digunakan Tionghoa untuk keperluan identitas diri seiring status kewarganegaraan yang tak jelas serta pengawasan ketat kolonial –hal yang sebenarnya tak senapas dengan spirit Kebijakan Etis. Budaya Tionghoa yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap orang tua dan leluhur juga turut melibatkan penggunaan foto, misalnya untuk altar sembahyang.

Akhirnya, terlihat betapa tak relevannya Kebijakan Etis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindia Belanda, termasuk cara mereka mendefinisikan dirinya sendiri. Foto-foto karya orang Eropa jelas tak bisa diklaim mewakili aspirasi masyarakat Hindia Belanda. Secara umum, banyak foto yang terbukti impoten menangkap realita dan aspirasi masyarakat Hindia Belanda awal abad 20.

Temuan ini sedikit-banyak mengingatkan kita pada pernyataan Roland Barthes dalam Camera Lucida (1980) bahwa foto-foto tidak dapat menyampaikan sejarah secara lengkap pada pemirsa masa kini tanpa perantara. Tafsir ulang atas fotografi masa lampau akan terus berlangsung –proses yang akan merevisi pemahaman historis terkait imperialisme Eropa. Lewat buku ini, kita disuguhkan tafsir bahwa Kebijakan Etis tak lebih sebagai upaya terakhir Belanda mempertahankan wilayah koloninya.

Buku ini menjadi salah satu referensi berharga dalam menggali konteks politik kolonial melalui medium fotografi. Lebih dari itu, buku ini menjadi bahan refleksi penting bagi kita yang hidup di era digital, zaman ketika banjir foto cenderung membuat kita tambah malas membaca foto secara kritis. 

Hingga detik ini, narasi fotografi Indonesia masih minim mengeksplorasi aspek-aspek kritis dibanding teknis. Padahal, upaya-upaya ini sangat penting artinya bukan saja bagi dunia fotografi tapi juga perkembangan historiografi tanah air. Buku ini dengan gamblang menunjukkan betapa fotografer punya andil besar dalam sejarah. Kesadaran ini seharusnya membuat kita lebih kritis dalam membaca maupun memproduksi foto-foto bagi generasi penerus.

Referensi

Susie Protschky (ed.). 2015. Photography, Modernity and the Governed in Late-colonial Indonesia. Amsterdam University Press.

***

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili Arkademy sebagai kolektif.

 

Latest posts by Sylvie Tanaga (see all)

No Comments

Leave a Reply