Fotografi: Suara-Suara dan Perenungan akan Sebuah Relasi

Jauh sebelum terlibat untuk menggarap proyek foto pertama saya—yang berjudul Bentala Sampah—satu-satunya hal yang saya ketahui tentang dunia fotografi adalah sesuatu yang eksklusif dan begitu mahal. Eksklusif dalam artian, fotografi merupakan benda untuk kalangan tertentu saja, dibicarakan oleh orang-orang tertentu saja, dan dimengerti oleh lapisan tertentu saja. Mahal dalam artian, tentu kamu harus punya kamera canggih dan seperangkat skills memotret yang profesional untuk bisa menghasilkan karya yang bagus. 

Namun, sejak terlibat secara langsung untuk mempelajari fotografi kritis dan menggarapnya, mengubah bagaimana saya melihat dan memperlakukan fotografi itu sendiri. 

Ada banyak sekali hal-hal yang saya renungi, pasca saya mengerjakan Bentala Sampah; sebuah pemahaman baru, pertanyaan-pertanyaan, dan bahkan sesuatu yang mendorong saya untuk mendalami fotografi, juga lebih peduli terhadap lingkungan di mana saya berada. Pada akhirnya, proyek foto ini membuat saya kembali mempertanyakan hubungan saya dan lingkungan di sekitar saya.

Semua berawal dari tugas kampus pada semester dua, untuk melakukan pengabdian masyarakat. Hari itu saya bersama teman-teman kampus memilih tempat pembuangan sampah utama di kota kami, sebagai target tugas ini. berkunjung ke sana, bercengkerama dengan penduduk sekitar, dan melihat secara langsung bagaimana mereka hidup—sangat berdekatan atau bahkan telah menyatu—dengan tempat pembuangan akhir, membuat saya tertegun, atau lebih tepatnya merasa cemas. Salah satu tempat pembuangan sampah di kota kami memang sudah kelebihan kapasitas. Pengalaman itulah yang membekas dan membawa saya untuk mengangkatnya pada workshop fotografi KELANA dengan tema Tentang Tanah. 

Bentala Sampah sendiri, adalah potret kehidupan di sekitar tempat pembuangan akhir (TPA) di Kota Palembang, TPA Karya Jaya. TPA ini adalah TPA yang disiapkan untuk menggantikan TPA utama di Palembang. Namun, belum juga rampung, TPA tersebut sudah terkendala infrastruktur dan kapasitasnya mulai penuh. Selama proses memotret saya melihat bagaimana kompleksnya hubungan-hubungan yang terjadi antara tanah yang diperuntukkan sebagai TPA dengan lingkungan dan manusia-manusia yang hidup di sekitarnya. Di satu sisi, TPA ini memberikan penghidupan untuk masyarakat di sekitarnya, namun di sisi lain, banyak juga warga yang terdampak masalah kebersihan dan kesehatannya karena penimbunan juga pembakaran sampah yang menjadi bagian dari keseharian TPA. Namun pengamatan yang paling membekas buat saya, dengan hadirnya TPA ini saya melihat adanya perubahan lansekap yang terjadi di lingkungan tempat TPA ini berada. Perlahan, sawah, rawa dan jalan umum terdampak dengan timbunan sampah masyarakat sekitar dan masyarakat kota Palembang pada umumnya.

Bentala Sampah adalah sebuah kekhawatiran yang saya utarakan melalui medium visual. Alih-alih menuliskannya ke dalam bentuk tulisan atau puisi, saya mengamini bahwa ada banyak hal-hal yang tidak selesai dan tidak bisa diutarakan melalui kata-kata atau tulisan. Di sini, fotografi memiliki suaranya sendiri. Mengerjakan Bentala Sampah juga membuat saya melihat bahwa sebuah karya fotografi tidak melulu harus hadir sebagai sebuah jawaban. Bentala Sampah tidak memberikan jawaban akan kekhawatiran itu sendiri. Melainkan pertanyaan-pertanyaan. Alih-alih bersifat menggurui akan sesuatu, saya lebih suka mengajak orang untuk bersama-sama mempertanyakan dan merenungi kembali hal tersebut. 

Bagaimana jika seluruh wilayah di kota ini pada akhirnya habis karena sampah-sampah yang kita produksi setiap hari?

Bagaimana jika seluruh rawa—rawa di kota ini akhirnya rata ditimbun, agar kita punya tempat untuk sampah-sampah ini?

Bagaimana jika sejauh mata memandang, tidak luput dari gunungan sampah-sampah setiap hari? 

Lanskap yang mana lagi, dan dimana lagi yang akan terdampak karena kita?

Melalui fotografi pula lah, saya menemukan medium alternatif untuk berbicara dan berdiskusi. Tahun lalu, saya bersama beberapa teman mengadakan diskusi tentang refugees melalui karya foto Omar Imam yang berjudul Love, Live, Refugees. Untuk mendiskusikan hal yang cukup rumit, fotografi dapat menjadi sebuah medium yang lebih interaktif dan efektif sebagai penghantar, dan tentu sangat menarik. 

Selama kurang dari sepuluh hari saya memotret ke lapangan, bermalam di rumah penduduk, mendaki ke gunung sampah, dan bersosialisasi dengan warga sekitar, saya belajar banyak tentang bagaimana seharusnya seorang fotografer membangun hubungan dengan obyek yang mereka potret. Seorang fotografer haruslah melebur, build bridges not walls. Dan yang terpenting, memanusiakan “obyek” yang mereka potret. Relasi antara fotografer dan obyek yang mereka potret pun dapat dilihat melalui karyanya. Saya masih ingat, saat seorang mentor mengomentari karya saya:

“Kamu kurang dekat. Masih takut-takut.”

Esok hari nya saya mencoba untuk mengobrol lebih lama dengan warga sekitar, dan memberanikan diri untuk lebih mengeksplorasi lingkungan TPA tersebut. Alhasil, potret yang dihasilkan menggambarkan hubungan fotografer dan obyek yang tidak kaku. Melalui proses memotret yang cukup panjang ini, membuat saya belajar untuk membangun empati terhadap manusia lain.  

Bukan hanya saya sebagai fotografer di sini, yang jadi semakin sadar bahwa permasalahan lingkungan begitu nyata dan sangat dekat. Namun, beberapa pengunjung, kerabat, dan teman, yang melihat karya saya, mengutarakan kekhawatiran mereka dan juga keterkejutan mereka melihat hal yang nyata ini. Pada akhirnya, kita semua belajar untuk mulai berempati pada lingkungan dan manusia sekitar. 

Sebagai seorang mahasiswi biasa yang kehidupannya didominasi oleh tugas-tugas kampus, dengan kamera sederhananya dan segala keterbatasan lensa yang dimiliki, Saya secara personal telah membuktikan, bahwa yang amat berarti dari sebuah karya fotografi adalah suara. Apa yang ingin kau ceritakan? Dan mampukah ceritamu menggapai mereka? 

* * *

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili Arkademy sebagai kolektif.

Adella Indah Nurjanah
Latest posts by Adella Indah Nurjanah (see all)

5 Comments

Velly
Mei 29, 2020 3:05 am

What a delightful insight! Thank you Kak Della for sharing this. It indeed brought me into a thoroughly deep contemplation about what’s actually going on around me and consequently made more aware about things that truly matter. Loved this so much!

Adella Indah
Mei 29, 2020 8:11 am

Hello Vel, thank you for reading! Glad to know that, hopefully we can discuss further. Really want to know your perspective 🙂

Adella Indah
Mei 29, 2020 8:14 am

Hello Vel, thank you for reading! Glad to know that, hopefully we can discuss further. Really want to know your perspective 🙂

Wai
Mei 29, 2020 12:12 pm

Beberapa hari yang lalu aku melihat postingan ini di instagramnya arkademy, dari sepotong caption saja membuatku menaruh perhatian dengan postingan tersebut. Lalu malam ini baru sadar, kalau ada tulisan penuhnya hehe. Sangat ringan dibaca serta begitu mudah saya mendapatkan wawasan perihal tulisan ini. semangat deh untuk selanjutnya

Adella Indah
Mei 29, 2020 4:24 pm

Halo Wai! Terima kasih ya, sudah berkunjung dan membaca!

Leave a Reply