Mengalami Fotografi, Sepenuhnya.

Dua tahun lalu saya membuat proyek foto yang lebih menekankan pada proses berfotografinya ketimbang fotonya itu sendiri. Bodohnya, meskipun demikian, saya tidak membuat dokumentasi yang rapi atas proses yang telah saya lakukan. Untung saja artefak-artefak proses berkaryanya masih saya simpan, meskipun serampangan. Maka dari itu, maksud dari tulisan ini sederhana saja, dokumentasi sejarah pribadi.

Dalam waktu singkat, saya merasa seperti arkeolog, meskipun subjek yang saya ubek-ubek adalah artefak pribadi dan lokasinya di rumah sendiri. Namun, kejadian penemuan kembali artefak ini tidak kalah bikin sumringahnya dengan penemuan fosil mammoth tertua di daratan Russia. Berawal dari rasa ingin tahu yang tinggi akan pengalaman fotografi yang segar, pada saat itu saya mencoba memproduksi fotografi dari barang paling mentah yang bisa saya dapatkan.

Rencananya, kamera yang saya gunakan harus dibuat oleh saya sendiri, kemudian negatif filmnya harus saya proses sendiri, dan negatif filmnya harus saya scan sendiri.

Pembuatan Kamera

Kamera dibuat menggunakan selongsong canister film bekas berwarna hitam, saya menggunakan selongsong canister ILFORD. Kemudian bagian tengahnya saya lubangi menggunakan mata bor yang diputar oleh tangan saya sendiri. Tidak disarankan menggunakan mesin bor kecepatan tinggi karena akan berbahaya jika tidak diragum. Lubangnya tidak perlu lebih besar dari diameter pensil kayu. Sebagai pengganti lensa, saya menggunakan prinsip lubang jarum untuk memproyeksikan cahaya ke dalam imaji. Kaleng minuman bekas yang saya lubangi sangat kecil akan ditempelkan pada lubang sebesar pensil tadi pada bagian dalam selongsong. Voila! Kameraku sudah siap memotret apapun.

Proses Fotografi

Aperture atau diafragma kamera lubang jarum sangatlah kecil, sehingga dibutuhkan shutter speed atau kecepatan rana yang sangat lambat untuk mengkompensasinya. Berapa lama? Jujur saya tidak tahu, tapi sebenarnya sangat mungkin diperkirakan, tetapi yang pasti minimal dalam skala menit. Teknis pakem, kemudian saya mulai mencari subjek yang ingin saya foto saat itu.

Fotografi di benak saya sudah terpatri sebagai kegiatan yang terburu-buru, saya mengambilnya dimanapun, kapanpun, dan bisa dibagikan dalam hitungan detik. Saya ingin melambat. Maka saya memilih subjek terdekat yang dapat saya ambil dalam waktu singkat, namun sengaja diperlambat.

Proses Development

Saya tidak memiliki ruang gelap. Segelap-gelapnya kamar saya, pasti masih ada saja cahaya yang bocor. Sehingga saya meminjam peralatan kamar gelap portable milik Liga Film Mahasiswa ITB yang berupa jaket dua lapis yang dibuat oleh Hipercatlab. Perlu dicatat, kamera lubang jarum selongsong ini memaksa saya untuk menggunting roll film agar dapat masuk ke dalam kamera. Mengguntingnya pun harus di kamar gelap, alhasil panjang potongan ini menjadi tidak konsisten karena saya tidak punya mata di sela-sela ibu jari saya.

Masih dari akibat roll film yang terpotong, saya tidak dapat menggunakan devtank, karena ukurannya terlalu kecil untuk nyangkut di bridlenya. Akhirnya, saya terpaksa menggunakan toples kaca dari dapur yang saya ambil diam-diam di dua pertiga malam. Agitasinya pun harus manual menggunakan sumpit.

Developer yang saya gunakan adalah Kodak D76 dan fixer yang saya racik sendiri dari garam hypo (Sodium Thiosulfate) dan Sodium Sulfite. Ajaibnya, kedua larutan ini masih bisa saya temukan di sela-sela lemari saya, dan lebih menarik lagi larutan developer telah menguap ditelan zaman dan hanya tersisa kristal-kristalnya saja. Untuk sesaat, saya merasa seperti Walter White di Breaking Bad, seorang guru kimia di SMA yang ahli membuat sabu.

Hasil Akhir

Saya masih merasakan ketegangannya ketika menunggu hasil cucian kali ini, karena modalnya yang tidak sedikit (meskipun menghemat banyak karena tidak membeli kamera). Ternyata hasilnya tidak mengecewakan. Saya melihat wajah saya sendiri dalam negatifnya! Tidak lama setelah semuanya kering, saya langsung mulai scan. Sayangnya saya tidak punya scanner, tetapi adik saya kebetulan jadi manajer pemasaran untuk Hikari Studio yang ternyata punya scanner film. Menunggu hasil scan filmnya tidak kalah menegangkan dari menunggu hasil cucinya. Benar kata orang, usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil, akhirnya saya bisa sumringah setelah melihat hasil scannya, melebihi dari pengalaman ngescan sebelumnya.

Hasil Digital Scan

Dari proses panjang ini, akhirnya terlahirlah 5 karya di bawah ini. Foto pertama merupakan yang paling spesial bagi saya pribadi. Bermaksud mirror selfie di kamar mandi, namun dengan kamera dicengkram oleh rahang saya. Selama 5 menit tubuh saya menyatu dengan kamera. Pada saat itu saya menjadi fotografer, subjek, dan alat fotografi dalam waktu yang sama. Untuk sejenak saya merasa seperti wayang Bima yang telah menguasai ilmu pelepasan dan berhasil menjadi satu dengan khaliknya. Saya tidak pernah merasa mengalami fotografi sepenuh ini.

Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili Arkademy sebagai kolektif.

Latest posts by Farraz Akbar (see all)

2 Comments

rijal
Juni 5, 2020 9:40 am

komen editorial tulisan, ada kesalahan ketik “Saya tidak memiliki ruang gelap. Segelap-gelapnya kamar saya, pasti masiha ada saja cahaya yang bocor. “… hehe.

Arkademy
Juni 5, 2020 10:23 am

Terima kasih banyak, sudah kami perbaiki ya. 🙂

Leave a Reply