Kisah-Kisah Tanah Manusia

Bekerja sama dengan WRI Indonesia, kami menyelenggarakan rangkaian lokakarya narasi visual di 4 kota: Pekanbaru, Palembang, Manokwari, dan Jakarta. Lewat lokakarya-lokakarya ini, terpilihlah 14 cerita yang diangkat oleh fotografer setempat tentang keberagaman perspektif terhadap lahan serta pentingnya perbaikan tata kelola lahan, demi masa depan Indonesia yang ramah lingkungan dan ramah sosial. Dalam rangka mengkomunikasikan narasi-narasi visual yang terkumpul, kami mengadakan rangkaian acara Pameran Foto, Diskusi, dan Instalasi Augmented Reality bertajuk “Kisah-Kisah Tanah Manusia” di Galeri Salihara, 2-8 Oktober 2019. Sebuah pameran foto yang dikurasi oleh Arkademy.

Kisah-Kisah Tanah Manusia

Manusia tidak akan pernah bisa dilepaskan dari tanah tempatnya berpijak. Kita melakukan seluruh aktivitas sehari-hari di atasnya, mendapatkan penghidupan darinya, bahkan kelak ketika mati akan kembali padanya. Tanah turut andil dalam mengkonstruksi lapisan identitas yang tersemat pada diri kita, dan persepsi keterikatan manusia dengan tanah serta keinginan untuk memiliki dan menggunakannya selalu mewarnai sejarah peradaban. 

Kebutuhan akan tanah dan segala daya dukungnya akan selalu berbanding lurus mengikuti laju pertumbuhan populasi manusia di muka bumi, padahal tanah merupakan sumber daya alam yang tidak bisa bertambah jumlahnya. Keterbatasan ini rawan menimbulkan kesenjangan akses terhadap lahan, juga pergesekan akibat perbedaan cara pandang dalam memaknai tanah.

Di Indonesia sendiri, sengkarut sengketa-sengketa tanah seperti tak kunjung usai. Salah satu permasalahan pokoknya, pihak-pihak yang bertikai ternyata mendasarkan klaimnya pada sumber acuan yang berbeda-beda.

Untuk mulai mengurai benang kusut ini, pemerintah mencetuskan Kebijakan Satu Peta (KSP). Gagasannya, dengan satu sumber referensi yang disepakati bersama dan bisa diakses seluruh pihak yang berkepentingan, tumpang tindih penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukannya dapat dihindari dan sengketa-sengketa yang masih berlangsung bisa mulai dicari penyelesaiannya. Proses penggarapan KSP yang mencakup tahapan kompilasi, integrasi dan sinkronisasi 85 peta tematik di 34 provinsi oleh 19 kementerian/lembaga ini hingga kini masih berjalan. 

Agar kebijakan ini bisa mencapai tujuan sebagaimana mestinya, dukungan publik tentunya akan sangat dibutuhkan. Masyarakat bisa mengambil peran tidak hanya dalam fungsi pengawasan agar kebijakan ini tidak disalahgunakan untuk keuntungan pihak-pihak tertentu saja, tetapi juga idealnya turut berpartisipasi aktif memastikan bahwa kepentingan-kepentingan yang berpihak pada mereka turut direpresentasikan di dalamnya.

Yang menjadi tantangan, imajinasi publik akan masalah lahan di Indonesia dirasa masih cukup terbatas. Ini mungkin disebabkan antara lain oleh bagaimana isu ini kerapkali hanya dibicarakan dalam bingkai wacana-wacana besar yang jauh dari keseharian kebanyakan orang. Akan sulit, misalnya, untuk bisa membuat orang-orang perkotaan peduli pada isu alih fungsi lahan ketika topik ini dibahas dengan selalu mengambil contoh deforestasi untuk lahan perkebunan monokultur, terlepas dari soal seberapa genting kasus itu secara nyata.

Belum lagi, jika sudah menyangkut kebijakan dan peraturan yang berbasis data seperti KSP, kita biasanya akan dihadapkan pada teks-teks berbahasa legal dan formal, juga serangkaian data pendukung berwujud numerik dan statistik. Walaupun penting, mereka membuat isu lahan menjadi terkesan dingin dan berjarak. 

Pada titik inilah, fotografi mungkin bisa dimanfaatkan sebagai bahasa penyampaian alternatif yang lebih halus, sebuah jembatan untuk mendekatkan isu-isu lahan ke publik yang lebih luas. Ada sejumlah pertimbangan pendukung premis ini: Pertama, soal aksesibilitas. Fotografi sekarang mudah digunakan siapa saja dan sudah menjadi medium universal dalam komunikasi keseharian. Kita menerima foto hampir tanpa keengganan. 

Kedua, fotografi tanpa disadari sebetulnya senantiasa berkenaan dengan sudut pandang dalam melihat sesuatu. Dalam foto-foto terbaik, selain faktor estetika dan nilai informasinya, akan selalu ada unsur perasaan keterlibatan, kita seakan-akan meminjam mata sang pemotret dan turut mengalami apa yang mereka lihat. Dengan kata lain, foto memiliki kekuatan untuk mengajak pembacanya untuk berelasi dengan apa yang dikisahkannya.

Apabila ini dikaitkan kembali dengan permasalahan lahan, bisa kita bayangkan bagaimana fotografi memiliki potensi untuk mendefinisikan ulang dan membangkitkan imajinasi baru atas hal-hal yang sebelumnya dianggap jauh dari diri kita. Data dan statistik bisa diubah menjadi emosi. Kompleksitas wacana besar diselami melalui narasi-narasi kecil yang dialami banyak orang. 

Berangkat dari pemikiran itu, World Resources Institute (WRI) Indonesia bekerjasama dengan Arkademy berinisiatif menyelenggarakan rangkaian lokakarya narasi visual bertajuk KELANA Tentang Tanah di empat kota: Pekanbaru, Palembang, Manokwari dan Jakarta. Lokakarya intensif selama 10 hari ini bertujuan untuk mengamati, menggali dan menangkap kisah-kisah relasi manusia dengan tanah, dalam berbagai dimensi dan dinamika yang menyertainya. 

Untuk mencapai tujuan tersebut, lokakarya didesain secara komprehensif. Di awal, peserta mendapatkan materi-materi pengantar sebagai bekal, meliputi pengantar fotografi kritis, dasar-dasar visual storytelling, literasi visual dan sejarah fotografi, serta sesi-sesi berbagi pengalaman berkarya oleh mentor-mentor Arkademy. 

Setelah mendapat pembekalan, setiap peserta mengajukan rencana cerita yang ingin diangkat untuk didiskusikan bersama-sama. Ketika rencana ini disetujui, tiap peserta kemudian mulai memotret cerita fotonya masing-masing selama kurang lebih 5-6 hari. Di akhir lokakarya, foto-foto yang mereka buat selama pemotretan akan disunting bersama-sama dengan mentor untuk menjadi karya akhir yang mereka sajikan ke publik.

Dari pelaksanaan lokakarya yang berlangsung dari bulan Juni-Agustus 2019 ini, terhimpun 31 cerita-cerita foto tentang lahan dari berbagai perspektif dan juga cara bertutur. Keragaman narasi yang terkumpul merefleksikan kompleksitas yang ada di isu lahan; mulai yang berhubungan dengan kondisi geografis, krisis iklim, simpang siur regulasi tata guna lahan dan dampak sosialnya pada warga, partisipasi masyarakat dalam menjamin hak atas tanah, hingga beragam aspek historis, budaya dan kondisi sosial masyarakat di empat lokasi lokakarya. Singkatnya, cerita-cerita foto ini memotret bagaimana kompleksitas isu lahan di Indonesia tidak dapat disederhanakan sebagai sesuatu yang hitam atau putih: ia berlapis dan terikat erat dengan isu lingkungan, kelas, dan konteks kebudayaan yang membentuknya.

Kekayaan juga hadir karena bervariasinya demografi peserta-peserta lokakarya. Hanya sebagian kecil dari mereka yang aktif sebagai fotografer profesional. Lainnya datang dari berbagai profesi dan latar belakang: mahasiswa, arsitek, penulis, penyiar radio, aktivis, hingga statistisi. 

Pada eksibisi ini, Arkademy memilih 14 cerita foto untuk dipresentasikan pada publik. Seleksi dilakukan dengan mempertimbangkan kualitas estetis karya itu sendiri dan konteks cerita yang diangkat dalam kaitannya dengan cerita foto yang dibuat oleh peserta lain, baik di kota lokakarya yang sama atau bahkan di kota lain. Cerita-cerita foto yang ditampilkan akan terbagi ke dalam 6 kelompok topik: Eksploitasi, Lanskap Baru, Kerentanan Warga, Lahan dan Kematian, Siasat Dalam Keterbatasan, dan Harapan. 

Melalui kelompok-kelompok ini, penikmat pameran bisa meninjau sebuah topik dari beberapa opsi perspektif. Dengan begitu, harapannya pintu-pintu masuk untuk mulai membicarakan permasalahan lahan dalam dialog-dialog lanjutan bisa terbuka lebih banyak dan isu ini bisa berkembang menjadi imajinasi publik.

Kurator,
Arkademy
Jakarta, 2 Oktober 2019

Foto oleh Kurniadi Widodo.