KELANA Bogor

Bogor, 22, 23, 24, 30 Juni & 1 Juli 2018

What is old exactly?

Oleh Rangga Kuzuma

Apa rasanya menjadi tua? 

Sebuah pertanyaan besar tentang bagaimana saya melihat kota Bogor dengan segala isinya. Gedung-gedung tua, pohon-pohon besar, hiruk-pikuk orang tua yang menghiasi jalan membuat saya berfikir tentang bagaimana sudut pandang seseorang yang tumbuh dan menjadi tua. Haruskah sesuatu yang dikikis waktu selalu lekat akan keterbatasan dan ketidakberdayaan? Ataukah waktu bisa membentuk sesuatu menjadi lebih kuat dan berani? Ini bukan perkara angka-angka atau fisik semata. Tapi tentang pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dan perasaan-perasaan yang mengganggu tentang apa arti tua sebenarnya?

Suara Bisu

Oleh Abil Akbar

“Aku telah menerima di setiap ornamen-ornamen yang kau buat, yang kau hiasi, yang kau timbun, yang kau biasakan.

Aku akan terus menyatu dengannya, bermesraan di jalan, di bawah pohon, di taman, sampai kau memisahkan, menyadari, dan resah di antara kami berdua.

Tapi, tidak perlu kau pisahkan, aku pun bisa mengurusinya sendiri, membuat setiap bentuk itu nampak seperti karya seni yang kau buat.

Kemudian, ku hisap ia terus-menerus, bertahun-tahun, beratus-ratus tahun, menjadi bentuk prasasti yang kau buat, mengingat manusia di masa depan, mengingat betapa kau menelantarkan kami berdua.” -kata alam dan benda-benda bisu lainnya.

Muslihat Negara, Siasat Warga

Oleh Roy Thaniago

Di Indonesia, warganya selalu punya cara dalam menghadapi infrastruktur publik yang jarang berpihak kepada mereka: bersiasat. Mungkin mereka tahu, mengharapkan aspirasinya dilayani negara itu sama saja seperti mengharapkan Karni Ilyas bicara tak tersendat. Karena itulah, warga bersiasat agar tak terlipat; mereka bersiasat karena jarang diajak terlibat.

Pembangunan infrastruktur publik sering keliru memahami kebutuhan warga, atau mungkin memang tak penting untuk tahu apa kebutuhannya. Orang Papua yang kebutuhannya adalah pengakuan atas kedaulatannya sebagai manusia, pengelola APBN malah membuatkan tol dan mendidik konsumsi beras. Warga Bukit Duri mengusahakan sendiri ruang hidupnya yang tak difasilitasi negara, tapi penguasa kota malah mengirim tentara ketimbang undangan berunding.

Dalam situasi itu, pemilik modal dan elit politik sebenarnya adalah pihak yang menduduki posisi puncak rantai makanan dalam ekosistem bisnis negara. Karenanya, infrastruktur publik ada dan diadakan pertama-tama untuk melayani aspirasi mereka. Sementara itu antarwarga dibiarkan saling berduel demi merebut akses atas fasilitas publik. Mereka yang tak kebagian, adalah mereka yang bersiasat.

Tapi sial buat mereka yang lemah secara ekonomi dan politik, karena tantangannya menjadi ganda. Bukan cuma harus bersiasat, tapi siasat mereka kerap dipahami dengan tidak adil. Kalau bukan dicap tukang onar atau perusak ketertiban, mereka direduksi sebatas pelanggar aturan atau bahkan kriminal. Siasat mereka kerap gagal dipahami sebagai ekspresi politik, apalagi daya politik.