KELANA Tentang Tanah

Pekanbaru, Palembang, Manokwari, Jakarta, Juni – Agustus 2019

Bekerja sama dengan @wriindonesia

Sengkarut Gambut

Oleh Parliza Hendrawan

Alih fungsi lahan gambut dan rawa bukan lagi hal baru di Palembang. Sebagai orang Palembang, saya merasa cerita ini penting untuk diangkat karena khawatirnya, Palembang yang dulunya dikenal sebagai daerah air dan rawa tinggal cerita. Kini, lahan gambut dan rawa banyak yang berubah menjadi bangunan untuk perumahan, pusat bisnis, perkantoran, dan jalan tol. Padahal rawa memiliki fungsi yang penting untuk keseimbangan ekosistem. Apabila semakin banyak lahan gambut dan rawa dialihfungsikan, fungsi rawa sebagai daerah resapan air semakin berkurang, dan dampak lingkungannya akan terasa pada masyarakat kota sendiri. 

Peternak Kerbau Rawa di Rambutan, Banyuasin misalnya, menceritakan kekhawatirannya akan keberlangsungan Kerbau Rawa. Hal itu dikarenakan lokasi tempat berkubangnya kerbau semakin sempit akibat pengerukan tanah untuk dijadikan material batu bata dan tanah timbun. Demikian juga dengan kawasan Talang Kelapa, belasan tahun silam di daerah tersebut masih dengan mudah dijumpai tumbuhan khas rawa dan gambut seperti Kumpai, Gelam, dan Purun yang kini sudah tak ada lagi. 

Dengan seringnya banjir melanda kota, sebagian besar masyarakat paham bila tempat resapan air semakin berkurang. Meski begitu, alih fungsi ini terjadi bukan karena proyek pembangunan dari pemerintah maupun swasta saja, masyarakat juga turut andil dalam menukar lahan gambut dan rawa dengan fungsi ekonomi baru. 

Melihat potensi dampak lingkungan yang dapat terjadi, saya berharap cerita foto ini dapat membukakan mata kita tentang betapa pentingnya kepedulian untuk menjaga rawa, gambut dan lahan resapan air lainnya dari kepentingan jangka pendek semata. Pembangunan untuk keperluan masyarakat kota memang perlu, namun pendekatan pembangunan yang tidak menyisakan lahan sedikitpun untuk flora dan fauna hanya akan mewariskan krisis lingkungan untuk anak cucu kita kelak. 

Bentala Sampah

Oleh Adella Indah Nurjanah

Ini adalah sebuah cerita foto tentang salah satu tempat pembuangan akhir (TPA) di Kota Palembang, TPA Karya Jaya. TPA ini adalah TPA yang disiapkan untuk menggantikan TPA pertama di Palembang. Khususnya, saya tertarik untuk menceritakan bagaimana hubungan-hubungan yang terjadi antara tanah yang diperuntukkan sebagai TPA dengan lingkungan dan manusia-manusia yang hidup di sekitarnya. Selama memotret di sana, saya menemukan hubungan yang kompleks antar manusia di sekitar TPA. Di satu sisi, TPA ini memberikan penghidupan untuk masyarakat yang hidup di sekitarnya, namun di sisi lain, banyak juga warga yang terdampak kebersihan dan kesehatannya karena penimbunan dan pembakaran sampah yang menjadi bagian dari keseharian TPA. Namun pengamatan yang paling membekas buat saya, dengan hadirnya TPA ini saya melihat adanya perubahan lanskap yang terjadi di lingkungan tempat TPA ini berada. Perlahan, sawah, rawa dan jalan umum terdampak dengan timbunan sampah masyarakat sekitar dan masyarakat kota Palembang pada umumnya.

Tidak terbayang oleh saya apabila produksi sampah warga Palembang terus meningkat, dan nantinya TPA inipun sudah mencapai batas maksimal. Tanah dan lanskap mana lagi yang akan terdampak oleh sampah yang kita produksi sehari-hari?

Tong Gale Pasir

Oleh Yustinus Yumthe

“Tong gale pasir. Tong tra kerja, tong kelap.”
“Kita gali pasir. Kita tidak kerja, kita kelaparan.”

Melalui cerita foto ini, saya ingin bercerita tentang pemanfaatan pasir pantai oleh masyarakat adat di Kampung Pami dan Kampung Mandopi, Distrik Manokwari Utara, Kab. Manokwari. Di satu sisi, saya ingin menggambarkan bagaimana sumber daya alam yang ada di daerah ini, yaitu pasir, sangat membantu masyarakat pemilik hak ulayat dan para pekerja untuk menunjang kehidupan mereka sehari-hari. Bisa dibilang, pasir adalah mata pencaharian utama untuk menghidupi masyarakat di Pami dan Mandopi. Pasir yang diambil ini juga berguna juga bagi aktivitas pembangunan kota Manokwari selama ini. 

Namun, di sisi lain, cerita ini penting untuk saya angkat karena saya mempertanyakan tata kelola ekosistem pemerintah, sebab pengerukan pasir pantai di Manokwari beroperasi bukan sebagai industri yang ilegal, namun diperbolehkan beroperasi karena tidak adanya peraturan pengelolaan sumber daya ini. Terutama mengingat dampak jangka panjang dari pengerukan pasir yang bisa berkontribusi pada perusakan lingkungan bagi masyarakat pesisir di kemudian hari. Salah satunya, potensi abrasi air laut sangat berbahaya karena bisa naik sampai ke jalan utama. Apabila suatu hari pasir ini habis dikeruk, apa yang akan terjadi pada masyarakat baik secara ekonomi maupun ekologis?

Life Goes On

Oleh Lidia Kristi

Kehidupan sehari-hari warga Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) Rawa Bebek mengisahkan bagaimana pilihan kehidupan yang diciptakan oleh negara, yang seharusnya menyejahterakan dan memerdekakan, malah menyengsarakan dan memaksa warga untuk menjalaninya untuk bertahan hidup. Rusunawa Rawa Bebek merupakan salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah untuk masyarakat korban penggusuran. Ironisnya, tempat tinggal baru tersebut tidak akan pernah menjadi hak milik mereka.

Saya mencoba mengintip kehidupan warga Rusunawa Rawa Bebek dengan mengikuti keseharian sebuah keluarga yang direlokasi dari Kampung Akuarium. Melalui keluarga ini, saya melihat terbatasnya warga Rawa Bebek dalam mencari penghidupan ketika kehidupan warga terkungkung jadi hanya seputar rusunawa saja. Misalnya, Ibu Sri yang membantu suami menafkahi keluarga dengan berjualan nasi hanya mengandalkan pembeli yang tidak lain adalah warga rusun setempat. Karena mereka juga sama-sama susah untuk menghidupi diri sendiri, pendapatan Ibu Sri jadi sangat terbatas. Pada akhirnya, sebagian warga tetap mencoba bertahan hidup dengan cara pulang-pergi untuk bekerja dari rusun ke daerah asal mereka, seperti Pasar Ikan, Bukit Duri dan Penjaringan yang secara jarak cukup jauh. Sebab relokasi tak selalu bisa memindahkan konteks sosio-ekonomi yang seringkali sudah melekat pada sebuah tempat. 

Tercerabut dari lingkungan pesisir, yang tak hanya sarat dengan relasi ekonomi, namun relasi sosio-kultural, membuat warga Rusunawa Rawa Bebek hidup dalam keterpaksaan. Tragisnya, keterpaksaan hidup di gedung yang menjulang ke atas ini bahkan telah menelan korban jiwa. Seorang anak berusia 3 tahun meninggal, jatuh dari lantai 4 karena fasilitas keamanan yang tidak memadai. Namun, meski warga memendam kekesalan, kemarahan dan kepasrahan, kehidupan di Rawa Bebek tetap berlanjut. “Sebab itu satu-satunya jalan kami bertahan hidup di sini.”

Hidup di Pulau Buatan Manusia

Oleh Amalya Purnama

Permasalahan lahan huni adalah satu dari kompleksnya permasalahan sosial dan lingkungan di Pulau Panggang. Pulau ini menjadi area pemukiman terpadat di wilayah Taman Nasional Kepulauan Seribu, dengan jumlah penduduk kurang lebih 4.000 jiwa yang menempati lahan seluas 11 ha. Untuk memenuhi kebutuhan pemukiman yang semakin meningkat, warga Pulau Panggang melakukan perluasan ilegal ke daerah pantai hingga sepanjang 200 meter. Mereka menimbun pantai dengan bebatuan karang yang mereka ambil dari laut. Rumah-rumah baru berdinding batako, beratap genting atau asbes yang berdiri di atas tumpukan karang menjadi wajah Pulau Panggang. Tentunya, hal ini berdampak pada keberlanjutan ekosistem laut yang adalah mata pencaharian utama mereka. Reklamasi ‘organik’ pulau ditambah limbah dari 13 sungai di Jakarta membuat ikan di laut tak lagi memenuhi jaring nelayan. Kurangnya ruang untuk vegetasi sebagai penopang air tanah juga menyebabkan krisis air bagi warga Panggang.

 

Masalah-masalah di atas saling terkait dan berkontribusi pada isu lingkungan kritis yang dihadapi manusia pulau: pengelolaan sumber daya yang terbatas, khususnya penggunaan lahan yang berkelanjutan. Hidup di tengah laut, jauh dari hiruk-pikuk, namun selamanya berada dalam keterbatasan adalah masa depan orang Pulau Panggang. Alih-alih membatasi pertumbuhan populasi dan mengelola tata ruang laut dengan bijak, program pengembangan sosial-ekonomi lebih berfokus pada kepentingan wisata bahari yang malah memperparah kerusakan ekologis.

 

Cerita foto ini mencoba menggambarkan bagaimana konflik lahan akibat kepadatan penduduk tak hanya menjadi problematika masyarakat urban, tapi juga masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sekitar Jakarta. Pulau Panggang hanyalah miniatur dari apa yang juga sedang terjadi di area-area berpenduduk padat di Indonesia dan yang seharusnya menjadi perhatian jangka panjang: degradasi sumber daya yang mendekati batas kemampuan planet ini.