WACANA Jakarta

Jakarta, 15-16 September 2018

Kerja sama dengan @kelaspagijkt

A Hindu Wedding

Foto oleh Martin Parr (2009)
Teks oleh Farraz Akbar dan Gema Satria

Foto ini menampilkan suasana pesta yang melibatkan beberapa orang dengan pakaian (dan peran) berbeda-beda. Yang utama, terdapat dua orang sedang duduk di meja makan, dan dua orang yang sedang berdiri. Satu orang dari setiap yang sedang duduk dan berdiri sedang menyalakan rokok milik orang lainnya. Keempat orang ini sudah memberikan kesan kelas yang berbeda-beda. dua orang yang sedang duduk tampak termasuk dalam kelas yang sama, sementara dua orang yang berdiri tampak berbeda karena satu orang diantaranya mengenakan seragam militer yang mengesankan peran seorang ajudan yang menyalakan rokok atasannya.

Keempat orang ini sedang berada dalam suasana pesta yang tampak dari aktivitas orang-orang di dua layer di belakang mereka. Satu layer menunjukkan penonton/spectator, sementara layer yang paling belakang adalah kumpulan pekerja catering. Layer paling depan pun menunjukkan piring-piring bekas makanan tipikal pesta dengan meja bundar.

Secara teknis, foto ini tampak diambil dengan teknis yang tidak terlalu rumit, yaitu dengan menggunakan flash bawaan kamera Parr. Seperti yang disinggung sebelumnya, Parr tampak menggunakan metode komposisi layering untuk menunjukkan peran/aktivitas yang berbeda-beda.

Sebagai fotografer, hal mendasar yang menjadi acuan Parr dalam berkarya adalah menonjolkan perbedaan antara mitologi tempat (mythology of the place) dan realitas yang tampil. Ia juga sering membuat karya foto yang serius namun menyamar sebagai sebuah hiburan (entertainment). Ia juga mengatakan bahwa imaji-imaji yang ia buat seringkali tidak secara tajam menampilkan makna sebenarnya, “if you want to read it, you can read it” begitu ujarnya kepada pewawancara yang bertanya tentang pandangannya.

Foto ini merupakan bagian dari foto seri HINDU WEDDING (2009), pada seri tersebut Parr menunjukkan wedding ala India/Hindu yang sedikit mendobrak asumsi bahwa acara tersebut penuh kegiatan dan simbol ritual (misalnya, dupa atau patung dewa). Pesta pernikahan tersebut ada selebrasi yang sifatnya mirip dengan pesta pernikahan pada umumnya.

Hal menarik lain dari foto tersebut adalah bagaimana Parr menunjukkan bagaimana sistem kasta diperankan dalam kejadian sehari-hari. Sistem kasta merupakan salah satu tatanan masyarakat yang masih dipegang hingga kini oleh penganut agama Hindu. Jika dikaitkan dengan foto tersebut, orang-orang berjas tampaknya seperti kasta Brahmana, kemudian para ajudan dapat dianggap sebagai kasta Ksatria, dan para pekerja katering kasta Waisya. Sistem kasta ini selain ditunjukan dengan teknik layering, juga ditunjukkan bagaimana dua aktivitas yang sama yaitu menyalakan rokok, dilakukan oleh dua orang dengan kasta berbeda.

Karya ini bisa ditampilkan dengan beberapa cara. Misalnya, Parr pernah punya pameran yang mengkontraskan keriaan acara pernikahan dalam series ini dengan suasana pantai yang terkesan lebih sepi. (meskipun foto yang diminta dalam tugas ini juga terkesan tidak “ramai”). Hindu wedding ini juga menunjukkan bagaimana sistem kasta diperankan dalam kehidupan sehari-hari.

Serra Pelada Mines —
Workers: Archaeology of the Industrial Age

Foto oleh Sebastião Salgado (1986)
Teks oleh Syarafina Vidyadhana dan Albert Wida

Selintas, bagi kami foto ini tampak seperti semut di kanal televisi rusak. Kesan ini muncul karena foto ini diambil menggunakan film B/W, dan diafragma yang kecil. Ketiadaan titik fokus menyiratkan bahwa sang fotografer ingin menunjukkan sebuah gambaran yang meluas. Setelah riset kecil-kecilan, kami menemukan bahwa Saldago merupakan seorang analis ekonomi, dengan kecenderungan Marxist yang ajeg. Dari situ, kami bertanya-tanya, apakah ketiadaan titik fokus juga disengaja untuk meleburkan para pekerja dengan lokasi kerjanya, dan untuk sekaligus meniadakan individualitas.

Kesan selanjutnya yang kami dapat, adalah betapa foto ini mirip dengan gambaran atau bayangan kolektif akan Neraka. Hal ini diperkuat dengan teknis-teknis fotografi yang kami sudah sebutkan sebelumnya. Seakan-akan ada alusi kepada konsep Inferno dalam The Divine Comedy, karya Dante. Menariknya, kalaupun  foto ini dibolak-balik, akan tetap terasa seperti neraka. Apakah sang fotografer ingin menunjukkan bahwa meski roda ekonomi berputar, kelas pekerja akan terus tertindas? Entah bagaimana, konsep Neraka ini juga mengingatkan kita pada peribahasa “bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian,” yang juga sebetulnya patut dipertanyakan mengapa Bekerja dianggap sebagai fase Inferno, alih-alih Purgatori atau Paradiso.

Foto ini merupakan bagian dari seri panjang, yang fokus pada lingkungan dan kondisi kerja yang brutal. Buruh-buruh ditampilkan kotor, letih, dan jumlahnya yang masih mengingatkan kita pada hasil tambang yang sebetulnya dibutuhkan oleh banyak negara. Masalahnya, setelah menulusuri foto-foto lain dari rangkaian ini, kami menyadari satu hal yang tidak diliput: bahaya kerja itu sendiri. Alih-alih sang fotografer menunjukkan kebanggaan para pekerja—semangat yang wajar dan sering ditemukan di kalangan aktivis Kiri—yang akhirnya cenderung meromantisir proses kerja itu sendiri. Ia melupakan eksposur mereka pada merkuri, kontrol dari militer, regulasi harga yang diperlakukan pemerintah, lantas akhirnya mereka harus beralih ke black market yang memberi mereka upah yang lebih baik.

Foto-foto Salgado juga abai pada kecelakaan-kecelakaan yang muncul—bahwa penambang ini sebetulnya memiliki taruhan nyawa yang bisa jadi tak kembali apabila mereka tidak berhasil naik ke permukaan lagi dengan kantung-kantung emas di punggung mereka. Foto-foto sebastian juga abai pada kondisi desa atau kota pinggiran yang penuh dengan prostitusi dan perjudian, akibat intervensi pemerintah yang ingin membersihkan Serra Pelada sebagai lubang tambang perauk keuntungan semata.

Melihat foto ini pada masa sekarang, kita juga perlu ingat bahwa ada rencana pembukaan kembali oleh perusahaan tambang Colossus, di lokasi yang sama di Brazil. Apakah eksploitasi macam itu akan terulang kembali? Apakah tangan-tangan buruh yang seharusnya mencerminkan keahlian—lantas identitas mereka—malah akan tereduksi sebagai tangan-tangan perauk keakayaan kembali?