Women on Street
Foto oleh Erik Prasetya (2018)
Teks oleh Gevi Noviyanti, Rijal Putranto dan Puri Kencana Putri
Foto ditampilkan dengan situasi di siang hari, di mana fotografer berada di ruang publik. Nampak suasana foto diambil di tengah restoran cepat saji, ada lima pria berusia 20 hingga 40 tahun. Empat pria yang berusia 20 dan 40 tahun tengah memandang satu obyek foto dari majalah dewasa “Popular” edisi Februari 2016 menampilkan gambar perempuan semok, berusia kurang lebih 30 tahun, menggunakan pakaian super mini berwarna merah. Tiga pria di antaranya menggunakan pakaian polo casual sedangkan satu pria berusia 40 tahun menggunakan batik dengan lanyard di lehernya.
Kesamaan dari empat pria ini adalah tertawa memandang obyek foto. Ditambah dengan poster besar Ronaldo, pemain bola tenar asal Portugal yang juga menatap kamera dengan tatapan dan senyum nakal. Namun satu pria yang posisi berdirinya dekat dengan sudut kamera nampak menunjukkan wajah tidak peduli dan cenderung bodo amat. Di dalam foto juga ada satu perempuan pekerja restoran cepat saji yang memunggungi lensa. Ia nampak sedang bekerja menyiapkan makanan.
Restoran cepat saji tempat foto diambil juga terdapat tulisan menu makanan yang bisa diasosiasikan dengan perempuan murahan. Kalimat pendek seperti “super besar” di mana gambar foto perempuan berada dekat dengan gambar paha dan dada ayam termasuk potongan kalimat di samping poster Ronaldo “nikmatnya, hangatnya” nampak memperkuat suasana maskulinitas tersebut.
Sterotip maskulinitas kuat tergambar pada perempuan di dalam majalah tersebut menjadi sebuah objek atau sarana rekreatif visual di antara objek visual lainnya. Perempuan juga sering dijadikan sebagai objek pemuas hasrat seksual dari konten-konten yang ada di majalah dewasa. Konten seksis di ruang publik nampak sangat lumrah muncul di seting sosial masyarakat urban yang terkesan egois dan bodo amat untuk menjalani hidup sosial. Untuk tidak membenarkan, namun praktik misoginis cenderung kuat dan dijalani di dalam konteks sosial masyarakat urban. Permisivitas pada konten-konten sensual juga sepertinya tidak menjadi soal. Faktanya konten-konten seperti ini menjadi sebuah pemersatu dari berbagai kelas ataupun status sosial yang berbeda.
Seks dan ekspresinya tidak lagi menjadi arena privat yang dilakukan di kamar, tempat tidur atau ruang tertutup. Seks dan ekspresinya bukanlah agenda reproduksi semata – yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sudah sah secara hukum ari sudut pandang konvensional, namun dengan tingkat konsumsi publik yang tinggi seks dan ekspresinya kini hadir menjadi sarana rekreasi. Mirip seperti argumen yang disampaikan oleh Jared Diamond dalam bukunya “Why is sex fun?”(1989) yang menekankan bahwa elemen seks dan ekspresinya justru merupakan sarana kesenangan dari mahkluk hidup, termasuk manusia. Erik Prasetya di sini berusaha menangkap apa yang menjadi kesenangan dari masyarakat kelas urban dan tengah melalui esetika visual (gambar perempuan) dan banalitas kesenangan dan rekreatif dari struktur sosial yang mengkonsumsi estetika visual tersebut.
Erik Prasetya seorang fotografer yang karya-karyanya selalu terkait dengan masyarakat urban dan kelas menengah. Karya foto ini merupakan rangkaian buku Women on Street yang merupakan edisi buku Estetika Banal Part II yang dikeluarkan tahun 2018. Dengan teknik jepret cepat (snapshot), momen ini berhasil menangkap obyek estetika popular di ibukota.
Sebagai tambahan, industrialisasi konten sensual tentu saja berbasis consent (persetujuan) dari si obyek gambar. Namun demikian, consent tersebut akan menciptakan keuntungan yang jauh lebih luas dalam skup industralisasi konten sensual itu sendiri. Di sini, apakah perempuan berpakaian dalam merah tersebut telah menyampaikan pesan tentang “otoritas tubuh” yang bisa dinikmati oleh khalayak luas? Dan apakah cukup otoritas tubuh bisa menandingi maskulinitas yang secara visual terlihat? Termasuk juga dengan nilai dan perjuangan gender itu sendiri? Masih sebuah pertanyaan panjang yang layak untuk didiskusikan.
Sebuah pertanyaan reflektif ketika subjek pada foto tersebut adalah sekumpulan perempuan yang menatap laki-laki sebagai objek yang ada di sebuah majalah. Apakah akan jadi menjadi momen menarik untuk diabadikan? Apakah objektifitas ketubuhan laki-laki di ruang publik menjadi sesuatu yang lumrah dan menarik untuk diperbincangkan? Sebagaimana foto Jojo, atlet badminton kita yang sempat menjadi obyek “kesenangan” di media sosial? Dan apakah jika si fotografernya adalah perempuan, maka ia akan tertarik dengan sudut visual seperti yang diambil oleh Erik Prasetya?