WACANA Yogyakarta

Yogyakarta, 1-2 Desember 2018

Bekerja sama dengan @kelaspagiyogya

Women on Street

Foto oleh Erik Prasetya (2018)
Teks oleh Gevi Noviyanti, Rijal Putranto dan Puri Kencana Putri

Foto ditampilkan dengan situasi di siang hari, di mana fotografer berada di ruang publik. Nampak suasana foto diambil di tengah restoran cepat saji, ada lima pria berusia 20 hingga 40 tahun. Empat pria yang berusia 20 dan 40 tahun tengah memandang satu obyek foto dari majalah dewasa “Popular” edisi Februari 2016 menampilkan gambar perempuan semok, berusia kurang lebih 30 tahun, menggunakan pakaian super mini berwarna merah. Tiga pria di antaranya menggunakan pakaian polo casual sedangkan satu pria berusia 40 tahun menggunakan batik dengan lanyard di lehernya.

Kesamaan dari empat pria ini adalah tertawa memandang obyek foto. Ditambah dengan poster besar Ronaldo, pemain bola tenar asal Portugal yang juga menatap kamera dengan tatapan dan senyum nakal. Namun satu pria yang posisi berdirinya dekat dengan sudut kamera nampak menunjukkan wajah tidak peduli dan cenderung bodo amat. Di dalam foto juga ada satu perempuan pekerja restoran cepat saji yang memunggungi lensa. Ia nampak sedang bekerja menyiapkan makanan.

Restoran cepat saji tempat foto diambil juga terdapat tulisan menu makanan yang bisa diasosiasikan dengan perempuan murahan. Kalimat pendek seperti “super besar” di mana gambar foto perempuan berada dekat dengan gambar paha dan dada ayam termasuk potongan kalimat di samping poster Ronaldo “nikmatnya, hangatnya” nampak memperkuat suasana maskulinitas tersebut.

Sterotip maskulinitas kuat tergambar pada perempuan di dalam majalah tersebut menjadi sebuah objek atau sarana rekreatif visual di antara objek visual lainnya. Perempuan juga sering dijadikan sebagai objek pemuas hasrat seksual dari konten-konten yang ada di majalah dewasa. Konten seksis di ruang publik nampak sangat lumrah muncul di seting sosial masyarakat urban yang terkesan egois dan bodo amat untuk menjalani hidup sosial. Untuk tidak membenarkan, namun praktik misoginis cenderung kuat dan dijalani di dalam konteks sosial masyarakat urban. Permisivitas pada konten-konten sensual juga sepertinya tidak menjadi soal. Faktanya konten-konten seperti ini menjadi sebuah pemersatu dari berbagai kelas ataupun status sosial yang berbeda.

Seks dan ekspresinya tidak lagi menjadi arena privat yang dilakukan di kamar, tempat tidur atau ruang tertutup. Seks dan ekspresinya bukanlah agenda reproduksi semata – yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sudah sah secara hukum ari sudut pandang konvensional, namun dengan tingkat konsumsi publik yang tinggi seks dan ekspresinya kini hadir menjadi sarana rekreasi. Mirip seperti argumen yang disampaikan oleh Jared Diamond dalam bukunya “Why is sex fun?”(1989) yang menekankan bahwa elemen seks dan ekspresinya justru merupakan sarana kesenangan dari mahkluk hidup, termasuk manusia. Erik Prasetya di sini berusaha menangkap apa yang menjadi kesenangan dari masyarakat kelas urban dan tengah melalui esetika visual (gambar perempuan) dan banalitas kesenangan dan rekreatif dari struktur sosial yang mengkonsumsi estetika visual tersebut.

Erik Prasetya seorang fotografer yang karya-karyanya selalu terkait dengan masyarakat urban dan kelas menengah. Karya foto ini merupakan rangkaian buku Women on Street yang merupakan edisi buku Estetika Banal Part II yang dikeluarkan tahun 2018. Dengan teknik jepret cepat (snapshot), momen ini berhasil menangkap obyek estetika popular di ibukota.

Sebagai tambahan, industrialisasi konten sensual tentu saja berbasis consent (persetujuan) dari si obyek gambar. Namun demikian, consent tersebut akan menciptakan keuntungan yang jauh lebih luas dalam skup industralisasi konten sensual itu sendiri. Di sini, apakah perempuan berpakaian dalam merah tersebut telah menyampaikan pesan tentang “otoritas tubuh” yang bisa dinikmati oleh khalayak luas? Dan apakah cukup otoritas tubuh bisa menandingi maskulinitas yang secara visual terlihat? Termasuk juga dengan nilai dan perjuangan gender itu sendiri? Masih sebuah pertanyaan panjang yang layak untuk didiskusikan.

Sebuah pertanyaan reflektif ketika subjek pada foto tersebut adalah sekumpulan perempuan yang menatap laki-laki sebagai objek yang ada di sebuah majalah. Apakah akan jadi menjadi momen menarik untuk diabadikan? Apakah objektifitas ketubuhan laki-laki di ruang publik menjadi sesuatu yang lumrah dan menarik untuk diperbincangkan? Sebagaimana foto Jojo, atlet badminton kita yang sempat menjadi obyek “kesenangan” di media sosial? Dan apakah jika si fotografernya adalah perempuan, maka ia akan tertarik dengan sudut visual seperti yang diambil oleh Erik Prasetya?

Her Take: (Re)Thinking Masculinty

Men Born from Blossoms from The Secret Garden of Lily LaPalma: Leonard Gloating with Chrysanthemums, Penang, Malaysia

Foto oleh Maggie Steber (2018)
Teks oleh Aziziah Diah Aprilya

Dalam karya fotonya untuk pameran Her Take: (Re) Thinking Masculinity tahun 2018, Maggie menampilkan seorang lelaki berkulit hitam yang berkumis, beralis tebal, dan berjambang dikelilingi oleh bunga warna warni. Wajah lelaki itu terlihat simetris, tegas dan berada di permukaan air sedangkan bagian tubuh lainnyanya berada di dalam air. Bagian wajah pada foto ini lebih difokuskan dibandingkan dengan bunga-bunga yang sengaja diblur. Selain bunga, elemen lain yang nampak di dalam foto adalah buih berwarna putih yang terletak di bagian separuh ke bawah, pas di bawah bagian wajah. Dan tatapan lelaki itu di dalam foto tersebut menunjukkan kesedihan.

Point of Interest dari foto ini adalah wajah subjek yang berada hampir di tengah frame. Pencahayaan yang digunakan sepertinya top light menghasilkan warna yang cukup kontras antara subjek dengan nuansa di sekelilingnya. Bunga-bunga dan buih mengelilingi subjek dibuat blur sehingga menimbulkan kesan dreamy dan surealis.

Bagi kami, foto ini menggambarkan kontras antara subjek yang erat diasumsikan sebagai sosok maskulinitas dengan mimik muka tegas, jambang yang lebat, disandingkan dengan bunga-bunga yang erat dengan sisi feminin. Dari sorot matanya dan suasana gelap yang diperlihatkan, kita merasakan ada kesedihan yang coba digambarkan fotografer. Anggapan ini berseberangan dengan anggapan kebanyakan orang bahwa sosok lelaki yang maskulin itu tidak boleh bersedih. Namun bukannya lelaki itu manusia juga? Dan manusia itu hidup dengan berbagai emosi, dan diantaranya ada kesedihan itu.

Menarik ketika Meggie menggambarkan sosok lelaki yang sebagian badannya “tenggelam” seperti menggambarkan kesedihan itu. Lalu bunga-bunga yang diblur itu seperti emosi yang direpresi karena anggapan kebanyakan orang kalau lelaki tidak boleh bersedih apalagi menangis karena itu sifat feminin (perempuan). Hal tersebut juga terlihat dari bagian hitam di atas garis mata ke atas yang seperti mencoba menceritakan pikiran lelaki yang mungkin kesulitan menggambarkan emosinya karena stigma/anggapan orang-orang terhadap sosok maskulinitas.

Maggie  Steber, fotografer wanita yang lahir di Texas pada 1949. Ketertarikan di dunia fotografi dalam dilihat dari karirnya dalam bidang in tersendiri. Sudah bekerja di 67 negara, dan terlama tugasnya di Haiti selama 25 tahun. Maggie sendiri sebenarnya tertarik dengan hal-hal misteri, film horor, noir, dan surrealisme. Sehingga mempengaruhi gaya Meggie di dalam fotonya ini yang menampakkan unsur misteri juga surrealis.

Foto ini awalnya adalah salah satu dari series personal project Maggie yang berjudul “The Secret Garden of Lili LaPalma” di tahun 2017, proyek fotografi Maggie yang ingin menceritakan kedalaman dan misteri dari jiwa seorang seniman.

Namun saat tahun 2018, Vii agency ingin melakukan proyek fotografi bersama 6 fotografer wanita yang akan membicarakan gender, kuasa, dan representasi dengan judul Her Take: (Re) Thinking Masculinity. Pameran ini dilatarbelakangi oleh isu industri foto jurnalistik yang sering menampilkan kekerasaan seksual dan bias gender yang terjadi belakangan ini. Model dari foto Maggie ini adalah Leonardo Pongo, seorang fotografer yang konsen dalam Documentary Fashion dari Kongo.